30. Dia Berhasil, Tetapi Ayah Sudah Pergi

182 38 0
                                    

Kristal lambaikan tangan ketika berpamitan dengan Ayah yang sudah mengantarnya ke warnet untuk mengecek hasil. "Tidak apa-apa, anak Ayah pasti berhasil. Kalau pun harus gagal, nanti Ayah temani sampai akhir." Ucapan itu dia simpan rapat-rapat sambil berlari menemui kedua temannya yang telah tiba sejak tadi.

"Gue mules," kata Kristal tepat saat pantatnya bertemu dengan bangku di depan komputer, lalu mulai memasukkan huruf di search bar untuk mengakses halaman yang akan –dia harap menampilkan namanya. "Gue lemes banget."

Embusan napas keluar dari bibir Sarah. "Gue ikutan lemes kaya pas ngewar tiket ensiti," katanya yang berdiri di belakang Kristal dengan kedua tangan bertengger di bahu anak itu.

Layar masih memproses, tetapi mereka kelewat setres karena dibuat menunggu tiga puluh menit lagi hingga pengumuman akhirnya bisa dibuka.

"Tiga puluh menit lama, Setan! Lagak lo udah kaya telat aja, padahal bisa dipake buat jajan cilok dulu tadi." Ezra yang suaranya sedikit parau karena menghisap tembakau dan menegak es teh siang hari tetap misuh-misuh sendiri. Pesan singkat dari Kristal tadi seolah mereka sudah terlambat untuk semua ini, nyatanya pengumuman masih setengah jam lagi.

"Gue juga enggak tau," balas Kristal sambil mengangkat bahu tak bersalah dan menghela napas kelewat pasrah, lalu memutar bangku untuk menghadap langsung dengan kedua temannya yang berdiri bersidekap dada, menatap seolah mampu memangsanya hidup-hidup. "Tergantung amal ibadah ini, Zra." Memulangkan kembali kalimat yang sangat sering lelaki itu lemparkan untuknya sambil menggaruk tengkuk.

Sarah menggeleng pelan dan Ezra berdecih. "Jadi kalau lulus, dua bulan lagi lo berangkat?" tanya lelaki itu pada akhirnya.

"Iya, gue punya waktu dikit lagi buat belajar bahasa Jepang, sambil urus berkas-berkasnya lagi."

Bocah yang sejak tadi menempati komputer di samping mereka akhirnya angkat kaki, membuat Sarah yang betisnya kebas dipakai berdiri segera mengambil bangku di samping dan menatap Ezra dengan ejekan karena hanya lelaki itu yang masih berdiri.

Lagi-lagi Ezra memutar mata. Kenapa dua temannya itu tidak bisa bertingkah layaknya umur mereka, ya? Mungkin sekarang dia mengerti kenapa dua bocahan itu masih saja sendiri. "Bisa gue bantu, ntar gue suruh bantu sama bokap, lo persiapin diri aja."

"Oh, ini saatnya gelar Tuan Muda dipakai, ya?" tanya Sarah. Kristal melepaskan tawa dan Ezra terbatuk pelan.

"Pak Alka tau, nggak?" tanya lelaki itu lagi, mengalihkan pembicaraan yang membuatnya tidak tahu harus bertingkah seperti apa.

Suara makian anak di belakang membuat mereka menoleh sebentar. Mungkin bocah itu frustasi karena kalah dalam permainan bela diri. "Enggak." Kristal menjawab samar sambil mengalihkan pandangan pada jam di tangan, dua puluh menit lagi.

"Kenapa?" Sarah ikut mengorek informasi, karena agak tidak wajar menurutnya jika Pak Alka tidak mengetahui berita yang jelas-jelas amat sangat besar ini.

"Nanti aja pas gue udah di Jepang."

"Lah?"

"Bunda nggak suka gue sering ketemu sama dia, makanya gue jaga jarak."

"Tapi lo kata suka sama dia." Sarah tak habis pikir.

"Lah, orang Ezra kata aja gue cuma mau dia, bukan butuh dia."

Helaan napas Sarah terdengar frustasi. "Ah, elah, serah, dah. Gue enggak mengerti."

Perbincangan itu disimak Ezra dalam diam sambil tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana menyentuh sigaret, mengelus tembakau dengan hati-hati agar tidak rusak. Sedikit banyak sebenarnya mengerti dengan maksud gadis berkulit tan, tetapi tetap saja ia rasa masih ada pilihan lain dari pada sama-sama menyiksa diri.

A Cup Of Hot ChocolateOnde histórias criam vida. Descubra agora