PROLOG

6.2K 702 124
                                    


Hai.... saat mampir di rumah oranye... baru nyadar lapak saya mungkin sudah mulai ada sarang laba-labanya... Akhir-akhir ini memang lumayan sibuk di lapak satunya dan kehidupan sehari-hari. Sebagai single parent semua harus saya lakukan sendiri. Jadi, maaf  karena sudah lama tidak hadir.

Yang penasaran dengan cerita ini, sudah tersedia di KK dan playbook ya... terserah aja  sukanya baca di mana. Mau nunggu di sini juga nggak apa-apa. Akan saya selesaikan juga, tapi harus sabar. Saya nggak pernah posting cerita setengah-setengah. Hanya saja, karena lapak  sebelah berbayar. Maka seperti biasa setelah beberapa lama bab akan saya hapus. Yang sering baca di sini pasti sudah paham. So.. jangan protes karena terlambat baca. 

Selamat membaca, semoga kalian sehat semua.

***

Luth baru pulang sekolah, hari sudah malam. Pakaian seragamnya tak lagi berwarna putih dan tampak kusut, penuh noda kecoklatan. Usianya masih tujuh belas tahun, kulitnya kusam terbakar matahari. Padahal dulu ketika kecil, menurut ibu kulitnya sangat putih. Pemuda itu meletakkan topi dan tas di atas meja kecil. Adiknya Leah menghampiri dengan tatapan penuh harap.

"Mas, odol dan sabun mandi habis. Sabun cuci piring juga." Bisiknya agar tak terdengar Ibu.

Laki-laki muda itu tak sempat duduk. Ini sudah hampir menjadi rutinitas saat tiba di rumah. Selalu saja ada yang habis Luth meraih uang di saku hasil membantu Mang Sarmin membuat batako sepulang sekolah hari ini. Di tambah lembur mengangkat ke truk hingga jam sembilan malam. Ada tujuh puluh lima ribu.

"Beli odol yang kecil aja, 1. Sabun harganya 2.500, kan?"

"Iya, boleh minta buat jajan?" tanya Leah penuh harap.

"2.000 aja, kembaliannya kasih Ibu."

Sang adik bergegas pergi ke warung sementara Luth masuk ke dapur menemui Ribka sang ibu yang terlihat tengah menghangatkan sayur.

Laki-laki muda itu menyerahkan uang sebesar 65.000.

"Ini Bu, untuk belanja besok."

Perempuan setengah baya itu tersenyum sambil menempelkan uang tersebut di dahi sebentar, sebuah kebiasaan jika putranya memberi uang. "Besok kita bisa beli beras lima kilo. Tadi ada yang minta pijat, dikasih 60.000. Besok ada tetangganya yang minta dipijat juga. Kenapa pulangnya malam sekali?"

"Tadi ada pemuatan. Aku diminta untuk bantu makanya dikasih 75.000."

Ribka menatap tidak tega pada putra sulungnya yang harus bekerja keras setiap hari. Dalam hati perempuan itu sebenarnya menangis karena tidak tega. Namun, sudah terbiasa menyimpan air mata di depan anak-anaknya. Luth tak pernah mengeluh.

"Seharusnya kamu tahun ini kuliah, tapi Ibu tidak mampu."

"Nggak apa-apa. Sementara aku bisa bantu di Mang Sarmin dulu sambil nyari kerjaan lain. Kemarin Mas Onan bilang sering ada lowongan di gudang tempat dia kerja karena banyak yang nggak kuat. Kerjanya terlalu capek. Mudah-mudahan masih buka sampai aku lulus nanti."

Leah datang membawa odol dan sabun juga jajanan krupuk di tangan.

"Aku mandi dulu Bu."

"Bajumu letakkan saja di tempat kain kotor."

"Nggak usah, tadi aku kerja pakai kaos, kok. Besok saja, kasihan Ibu kalau harus nyuci tiap hari."

Luth segera pergi ke kamar mandi umum di kontrakan mereka. Selesai membersihkan tubuh ia makan dengan lahap. Ada tumis kol dan tempe goreng buatan Ibu. Ini saja sudah terasa sangat nikmat untuknya. Masakan Ibu selalu juara. Dulu kehidupan mereka tidak seperti sekarang. Sejak ayahnya menikah lagi dan mereka harus keluar dari rumah besar itu semua berubah. Luth masih SD ketika mereka diusir oleh neneknya.

KAMU TIDAK PERNAH TAHU /TERSEDIA DI PLAYBOOKWhere stories live. Discover now