Shape-16

521 28 1
                                    

"Nggak, nggak! Lo anggap gue apa, seenaknya nyuruh pulang?!" protes Karin tak terima. Ia mengempaskan pantatnya kembali ke sofa, menyilangkan kaki, lantas melipat kedua tangan di depan dada dengan ekspresi menantang.

Asela sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Sesuai instruksi dokter, hari ini ia akan bermalam dulu di klinik. Namun, wanita itu bersikeras tidak ingin ditemani oleh Karin.

"Tapi, kan, kamu juga punya kehidupan sendiri, Rin. Aku nggak mau ngerepotin kamu terus," terang Asela. Di samping itu, ia juga ingin menyendiri untuk menjernihkan pikiran.

Karin justru tergelak. "Kehidupan sendiri gimana? Kalo 'sendiri' yang lo maksud secara harfiah, kan, gue emang jotas alias jomlo berkualitas!"

Ingin sekali rasanya Asela menimpuk wajah Karin dengan bantal. Sayangnya, pergerakan tangannya terbatas karena terhubung dengan selang infus.

"Lagian nggak ada bedanya juga gue pulang atau tidur di sini. Malah kalau di apartemen, gue sendirian," sambung Karin, "palingan rebahan sambil nyicil ngerjain orderan-orderan yang belom kelar, atau nge-drakor."

Selain memanajeri Asela, Karin juga menjadi ilustrator lepas. Kebanyakan kliennya adalah penulis buku, komik, dan penerbit. Kadang ia juga menerima orderan dari majalah atau surat kabar cetak. Namun, sebenarnya pekerjaan-pekerjaan tersebut ia lakukan sekadar untuk have fun saja. Kiriman bulanan dari orang tuanya sudah lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan Karin sehari-hari, bahkan jika ia hendak bergaya hedon sekali pun.

Asela memutar otak. Sepertinya tidak mungkin 'mengusir' Karin yang keras kepala itu. Namun, ia tetap butuh waktu sendiri.

"Kalau gitu, kamu nggak balik apartemen dulu? Kamu, kan, udah di sini dari pagi. Belum mandi sama nggak bawa laptop juga," usul Asela.

Karin terdiam sesaat. "Iya juga, ya. Tapi kalo gue balik, lo sama siapa, Sel?"

"Astaga, Rin! Aku, kan, bukan orang sekarat! Sendirian sebentar nggak papa, kali!"

"Serius?" Karin masih menatapnya sangsi.

Asela pun bangkit, mengubah posisinya menjadi duduk dengan kedua kaki tetap di ranjang, demi membuktikan kalau kondisinya sudah lebih baik. "Serius. Kalau kamu tetep di sini dalam keadaan belum mandi, justru mencemari udara dan bikin aku makin sakit."

"Hish!" gerutu Karin menanggapi lelucon Asela. "Lo sendiri juga belum mandi."

"Makanya, balik, gih, ke apartemen! Ntar bawain aku baju ganti sama handuk juga. Kalau sekarang, gimana aku mau mandi?!"

Bujukan itu berhasil. Karin pun beranjak untuk kembali ke apartemennya sebentar. Namun, sebelum pergi ia sudah berulang kali mewanti-wanti Asela untuk langsung menghubungi jika ada sesuatu yang terjadi.

Sepeninggal Karin, ruangan itu terasa sepi. Asela menjelajahkan pandangan ke dinding dan perabot yang didominasi oleh warna-warna netral, lantas mengembus napas lega. Akhirnya, ia punya ruang untuk diri sendiri.

Asela menggeser tubuh, meraih ponsel yang diletakkan di nakas samping tempat tidur pasien. Tidak ada pesan baru dari Devan. Terakhir pria itu menghubunginya saat baru landing di Jakarta, siang tadi. Sebenarnya bukan salah Devan, sebab ia sendiri yang tidak mau membalas pesannya sejak tadi.

Asela berusaha tak memikirkan hal itu. Jempolnya beralih menekan logo buku telepon yang menampilkan seluruh kontak tersimpan. Ia lantas menggulir layar hingga menemukan nomor telepon rumahnya. Ia ingat kalau harus menghubungi Bi Mar agar wanita tua itu tidak khawatir. Namun, tentu Asela tidak mengatakan kalau dirawat di klinik. Ia hanya bilang akan tidur di tempat Karin, sebagai alasan.

Perfect Shape [COMPLETE]Where stories live. Discover now