Shape-22

540 31 1
                                    

Devan pernah mengalami ini.

Hampir mirip. Bedanya, saat itu ia sadar penuh ketika akan berpisah dengan darah dagingnya. Tidak seperti sekarang, yang bahkan ia tidak mengetahui kalau janin kecil itu sudah bersemayam di rahim sang istri.

Ya, Devan bukanlah Gary Stu-sosok yang digambarkan sempurna di cerita fiksi. Ia manusia biasa, tempat salah dan khilaf. Dulu saat tinggal di Australia, Devan pernah terseret dalam arus kehidupan bebas. Ia menjalin hubungan dengan seorang temannya yang berdarah Eropa murni, hingga mengandung. Namun, wanita itu dengan santainya berkata akan melakukan aborsi. Dan bodohnya, Devan tak menghalangi niat terkutuk itu.

Manusia memang tidak pernah tahu bagaimana Tuhan akan mengetuk pintu hatinya. Siapa sangka setelah perbuatan tercela itu terlaksana, Devan justru terus dibayangi perasaan bersalah. Apalagi tiap berpapasan dengan anak kecil. Ia selalu merasa tatapan mata polos itu seolah sedang menghakimi dirinya.

Dari situlah titik balik kehidupan Devan bermula. Ia melakukan pertobatan dan mulai kembali ke jalan agama. Tak hanya itu, ia juga belajar lebih dalam tentang Islam dan berusaha mengamalkannya. Lalu, ketika datang tawaran perjodohan dari sang kakek dengan Asela, adik teman semasa remajanya yang sudah lama tak bersua, Devan pun tak menolak. Ia berharap dengan pernikahan itu, naluri alaminya sebagai manusia untuk mencintai dan dicintai bisa tersalurkan pada jalan yang diridai-Nya. Devan pun bertekad akan menjalankan peran sebagai suami dan kepala keluarga dengan sungguh-sungguh.

Namun, lihatlah di mana ia sekarang!? Berdiri seorang diri di depan pintu ruang operasi dengan tatapan merana. Devan tahu, tak pantas mempertanyakan takdir yang sudah digariskan oleh Allah. Namun, batinnya tak berhenti bergolak. Apakah ini balasan setimpal atas dosa yang telah dilakukannya di masa lalu?!

Bahu Devan tiba-tiba ditarik dari belakang, hingga tubuhnya berbalik. Di hadapannya kini sudah berdiri sang kakak ipar, Ahnaf, yang baru datang dari Malang. Wajah pria itu tampak merah padam. Kedua alis tebalnya menukik, dengan rahang mengeras dan urat-urat yang timbul di sekitar, juga lehernya.

"Apa yang terjadi sama adikku?!" Suara keras Ahnaf memecah keheningan lorong. Setelah diperhatikan lebih saksama, Devan bisa melihat garis-garis tonjolan serupa juga muncul di sepanjang kedua tangan Ahnaf yang mengepal. Jelas sekali, lelaki yang merupakan teman sepermainannya dulu itu sedang dikuasai amarah.

"Apa yang udah kamu perbuat, hah?! Bukannya kamu udah janji bakal jagain dia?!" Kali ini kedua tangan Ahnaf bergerak cepat mencengkeram kerah kemeja Devan. Bara emosi tampak jelas di kedua iris cokelatnya yang sejajar dengan mata sang ipar.

"Maas! Udah, udah!" Sebuah suara halus mengingatkan, dibarengi dengan tarikan jemari lentik pada punggung tangan Ahnaf. Putri, istri Ahnaf, mendekat di sisi sang suami demi mencegah amarahnya meletus. Perlahan, cengkeraman Ahnaf pun mengendur hingga ia melepas Devan sepenuhnya.

Laki-laki itu mendengkus kasar, kemudian berbalik beberapa langkah. "Gimana kondisinya sekarang?" Ia menyugar rambut dan kembali menatap Devan dengan emosi lebih terkontrol.

Namun, gelengan kepala yang didapat Ahnaf sebagai jawaban membuat bahunya seketika merosot. Ia terduduk limbung di kursi seberang pintu ruang operasi. Sang istri segera datang memeluknya. Lantas mengusap punggungnya yang bergetar untuk memberi ketenangan.

"Keluarga Nyonya Asela." Devan dan Ahnaf menoleh bersamaan. Namun, Devan yang lebih dulu mendekat.

"Saya suaminya. Gimana kondisi istri saya?" cecarnya langsung pada pria berseragam hijau muda yang barusan memanggil dari ambang pintu ruang operasi.

"Mari, ikut saya. Biar dokter yang menjelaskan di dalam." Perawat laki-laki itu melebarkan daun pintu di sebelah kirinya agar Devan bisa masuk. Dengan perasaan harap-harap cemas, ia pun mengekor langkah si perawat menyusuri lorong yang tak terlalu panjang. Kemudian berhenti di depan sebuah meja putih setengah lingkar yang mirip meja resepsionis di lobi hotel. Tampak seorang pria dan dua orang wanita sedang duduk sambil berbincang di belakang meja tersebut. Semuanya mengenakan pakaian yang sama dengan perawat yang memanggil Devan.

Menyadari kehadiran mereka, salah seorang wanita yang bertubuh gempal berdiri. Ia sempat membetulkan letak kacamatanya yang melorot dengan telunjuk dulu, sebelum menatap Devan dari atas masker medisnya. "Keluarga Nyonya Asela?"

"Ya. Saya suaminya, Dok," kata Devan tegas, menjawab pertanyaan bernada datar dari wanita yang diperkirakannya sebagai dokter tersebut.

"Saya Dokter Wati, spesialis kandungan, yang menangani istri Anda. Untuk tindakan kuretase-nya berjalan lancar, perdarahan di pergelangan tangannya juga sudah teratasi oleh tim dokter bedah di OK IGD tadi."

Devan mengembuskan napas lega. Bibirnya berucap lirih, menggumamkan kata syukur. Namun, tatapan sang dokter tak berkata demikian. Ia hanya belum menyampaikan bagian buruknya saja.

"Tapi untuk saat ini, kesadaran Nyonya Asela belum juga pulih. Padahal, dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital, semuanya stabil."

Napas Devan kembali tercekat.

"Kemungkinan karena tekanan psikis yang dialami Nyonya Asela sebelum kolaps benar-benar mengguncang jiwanya. Jadi, alam bawah sadarnya masih mencegah ia untuk bangun."

Seketika mata Devan berkaca-kaca. Kedua tangannya menangkup mulut dan hidung, berusaha menahan kesedihan. Ia kira mimpi buruknya sudah berakhir, tetapi ternyata ia salah.

"Ja-jadi ... apa yang harus dilakukan, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar.

Dokter Wati melepas kacamatanya dan menatap Devan penuh simpati. "Untuk saat ini, kita hanya bisa menunggu. Semoga Nyonya Asela punya keinginan kuat untuk kembali berjumpa dengan orang-orang di sekelilingnya. Berdoa terus, ya, Pak!"

Tanpa diberitahu pun, Devan pasti akan melakukannya. Namun, lidah pria itu kelu, tak mampu berucap apa-apa lagi. Ketika perawat yang tadi menjemput mempersilakannya kembali, ia hanya bisa berbalik lesu dan berjalan menuju pintu keluar dengan tatapan hampa.

"Gimana kondisi adikku? Apa kata dokter?" Ahnaf langsung memberondong Devan dengan pertanyaan, begitu sosoknya muncul di ambang pintu. Namun, ia sama sekali tak menjawab. Menatap pada sang ipar saja tidak.

Ahnaf masih ingin memaksa Devan bicara. Namun, suara roda brankar yang bergulir di atas lantai dari lorong di sisi kirinya-khusus untuk pasien yang keluar dari ruang operasi-menginterupsi niatan tersebut. Sontak pandangannya, Devan, dan Putri beralih. Ketiganya menunggu dengan harapan yang sama, meski tanpa berbicara.

Sesosok tubuh wanita terbaring lemah di atas brankar yang didorong oleh dua orang perawat. Selembar selimut cokelat menutupi tubuhnya hingga sebatas leher. Sebelum melintas di depan mereka, Devan bergegas lebih dulu menghampiri. Dan benar saja, wanita itu adalah istrinya.

Perasaan Devan remuk redam melihat Asela yang masih memejamkan mata di atas brankar tersebut. Dadanya naik-turun dengan teratur, dibantu sungkup yang melingkupi mulut dan hidungnya dan tersambung pada tabung oksigen kecil di bawah brankar. Wajah Asela masih tampak agak pucat. Sebuah kantong darah dialirkan ke tubuhnya melalui selang infus di tangan kanan, lantas satu kantong cairan lagi berwarna bening terhubung di sebelah kiri.

Sekuat tenaga Devan menahan air mata. Langkahnya tergerak menyertai Asela di sisi kirinya. Tangan pria itu lantas menyelusup ke dalam selimut, demi bisa menggenggam jari-jari rapuh di baliknya.

Ya Allah ... jika ini adalah hukuman karena dosa-dosaku di masa lalu, tolong jangan Engkau timpakan kepedihan ini pada istriku, Ya Rabb ... Biarlah aku yang menanggungnya sendiri. Berikanlah ia keselamatan dan kesembuhan, ratap Devan dengan hati yang hancur.

Perfect Shape [COMPLETE]Where stories live. Discover now