Shape-34

515 38 3
                                    

Pagi ini ruang makan kediaman Mahendra terlihat sedikit berbeda. Setelah berhari-hari kursi yang mengelilingi meja di tengah ruangan itu hanya satu yang terisi, pagi ini ada tambahan seorang lagi yang duduk di atasnya. Permukaan meja pun terlihat lebih ramai dengan aneka hidangan, tak hanya piring berisi nasi dan lauk-pauk yang porsinya hanya cukup untuk satu orang dewasa.

Devan mengambil tempat persis di sebelah kiri Asela. Tangan kanannya memegang sendok berisi nasi tim, sayur, dan seiris kecil daging untuk disuapkan pada sang istri. Asela membuka mulut dengan patuh, lalu mengunyahnya secara perlahan. Namun, tidak ada tanda-tanda reaksi penolakan dari wanita tersebut.

Senyum Devan terkembang. Itu adalah sendok sarapan terakhir Asela pagi ini. Meski hanya satu mangkok kecil, ia bersyukur istrinya bisa menghabiskan makanannya dengan baik tanpa drama apa pun.

"Enak?" Devan bertanya usai meletakkan sendok dengan posisi terbalik di mangkuk. Asela mengangguk, kemudian ia menggeleng saat Devan menawarinya untuk tambah makanan lagi.

Devan tak memaksa. Ia lantas beralih ke piring dan sendoknya sendiri yang masih belum tersentuh di meja makan. Devan mengisinya dengan nasi dan lauk-pauk secukupnya. Lalu mulai makan sambil ditemani sang istri di sisinya.

Pagi ini adalah awal yang baru. Itulah yang diam-diam disepakati benak Asela dan Devan tanpa diungkap masing-masing. Hari ini untuk pertama kalinya semenjak keluar dari rumah sakit, Asela akan mengunjungi psikolog. Sebelum-sebelumnya Devan hanya melakukan konsultasi via telemedicine, dengan pertimbangan kondisi Asela yang masih sangat lemah baik fisik maupun psikisnya. Ia khawatir melihat dunia luar akan membuat perasaan sang istri kembali tertekan dan menguras energinya. Maka dari itu Devan memilih bersabar agar setidaknya Asela punya keinginan untuk bangkit, barang secuil saja. Dan harapan itu terkabul ketika akhirnya semalam ia bisa merasakan kembali dekap hangat sang istri hingga keduanya terlelap dalam posisi saling berpelukan.

"Habis ini kamu siap-siap, ya. Mandi." Devan berkata di sela suapannya. Bola matanya bergulir menatap Asela yang terlihat setengah melamun menekuri tepi cangkir susu di atas meja. "Mau dibantu Bi Mar? Atau ... mau aku aja yang mandiin?"

Sekonyong-konyong mata Asela membulat. Ia langsung menoleh ke suaminya yang justru menyengir tanpa rasa bersalah. Wanita itu bisa merasakan hawa panas naik menjalari kedua pipi. Tanpa sadar, ia langsung mengalihkan wajah dan menunduk. Namun sayang, semburat merah muda samar itu sudah lebih dahulu tertangkap pandangan sang suami.

Devan tertegun. Matanya mengerjap, memastikan apa yang dilihatnya itu bukan khayalan semata. Ia tak bisa menjelaskan bagaimana rindunya melihat rona itu hinggap di pipi Asela. Sekarang, setelah semua yang mereka alami, ia tersadar bahwa sekecil apa pun perubahan ekspresi lawan bicaranya adalah momen yang berharga untuk diamati.

Tangan Devan terulur, meraih anak rambut Asela yang jatuh menutup samping wajah lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Di detik selanjutnya, ia sudah mendorong tubuh maju dan melekatkan bibir di pelipis sang istri. Tak diragukan lagi, wanita di hadapannya itulah yang diharapkan Devan akan menjadi satu-satunya sosok yang senantiasa menemaninya baik sekarang, di masa depan, serta di akhirat kelak.

***

Meski sudah memantapkan diri untuk pergi menemui psikolog, tetap saja itu bukan hal yang mudah bagi Asela. Rasa cemas masih bergelayut di hati dan pikirannya. Ia sengaja meminta dipilihkan pakaian berwarna gelap yang tak mencolok, lalu masih melapisinya dengan kardigan rajut panjang dan masker yang hampir menenggelamkan seluruh wajah. Hanya sepasang mata Asela saja yang tampak pada ruang antara tudung hijab dan bagian teratas maskernya.

Devan menggenggam tangan Asela dan meremasnya lembut. Ia bisa merasakan titik-titik keringat yang membasahi telapak tangan wanita itu. Sejak akan berangkat tadi, Devan memang sudah menangkap denyar kegelisahan yang dipancarkan sang istri. Oleh sebab itu, ia memilih duduk mendampingi Asela di deret tengah mobil dan meminta Pak Giman untuk mengantarkan mereka.

Perfect Shape [COMPLETE]Where stories live. Discover now