Bab 4. Awal Perjumpaan

193 19 12
                                    

Bab. 4. Awal Perjumpaan

Toyota Yaris warna merah milik Reisa memasuki pelataran rumah Ayunda. Reisa yang tampak cantik dan elegan dengan setelan kebaya modern bernuansa hijau, turun dari mobil.

Ayunda yang sudah bersiap sedari tadi segera keluar menyambut sahabatnya itu. Ayunda tak kalah anggun dengan balutan long dress full hitam kekinian dengan layer berbahan lace yang bisa dilepas pasang. Ayunda tampak elegan dan berkelas.

"Wow, sangat Ayunda sekali yaa. Hitam, gitu loh." seloroh Reisa setelah sebelumnya memberi salam lebih dulu.

"Bebas, donk haha. Selama pakai baju hitam nggak dilarang, aku bahagia." Ayunda.

"Iya, iya yang suka warna hitam. Btw, tapi emang pilihan tepat buat yang mau cari jodoh," cetus Reisa dan disambut dengan ekspresi heran di wajah Ayunda.

"Iya, donk. Warna hitam bakalan mencolok sendiri di tengah warna warni cerah, pasti jadi pusat perhatian. Artinya, akan semakin banyak mata yang memperhatikanmu, termasuk calon-calon jodoh kamu, kalau ada hihi," sambing Reisa kemudian.

"Oalaah, analisismu kejauhan," sanggah Ayunda.

"Tapi emang bener, kok. Liat aja ntar," kekeh Reisa pada pendapatnya.

Ayunda hanya menaikan pundak tanda menyerah berdebat dengan Reisa.

"Berangkat sekarang, yuk! Udah jam tujuh juga, malam minggu gini jalanan pasti rame, kan?" Ajak Ayunda seraya bangkit dan masuk ke rumah untuk pamitan pada ibunya. Reisa menyusul di belakangnya.

Selesai pamitan mereka pun berangkat menyusuri jalanan di malam minggu yang padat.

"Ah, Rei. Aku lupa mau nanyain ini ke kamu dari kemarin-kemarin," cetus Ayunda tiba-tiba. Tubuhnya menghadap ke arah Reisa.

"Nanya apa?" Reisa masih fokus menatap ke jalan.

"Kamu masih ingat Mas Bagas sepupu Farid?" tanya Ayunda masih dengan wajah menghadap Reisa dan mimik serius.

Mendengar pertanyaan itu, sontak Reisa menoleh ke arah Ayunda.

"Mas Bagas yang dokter itu?" Ingat, kenapa emangnya, kok tiba-tiba nanyain dia." Nada heran terdengar dari pertanyaan Reisa.

"Nggak, kebetulan kemarin aku lihat dia sama ibunya di pasar," jawab Ayunda dengan memalingkan wajahnya menatap jalanan di depan.

Meski samar, Reisa melihat senyum Ayunda saat mengatakannya.

"Kamu naksir sama dokter Bagas?" ledek Reisa, iseng seperti biasa.

"Jangan asal deh Rei, Mas Bagas kan suami orang. Aku cuman seneng aja ngelihat ada cowok yang mau nemenin ibunya ke pasar. Kelihatan manly dan sayang banget gitu, kalau dia aja nggak malu nemenin ibunya ke pasar, apalagi sama istrinya, kan?" Ayunda mencoba mengklarifikasi.

Reisa tersenyum maklum, ia tahu sahabatnya itu memang suka banget sama cowok yang lebih mature, tua kalau kata Reisa.

"Naksir juga nggak apa-apa, sih. Dokter Bagas single, kok sekarang," jawab Reisa santai sambil tangannya lincah memegang kemudi dan kopling.

"Maksudmu?" Kening Ayunda mengerut.

"Divorce. Istrinya selingkuh. Tari, adiknya yang cerita ke aku. Jangan lupa dia teman sejawatku juga."

"Oh, gitu." Hanya itu tanggapan Ayunda. Ia tidak bertanya apa-apa lagi setelahnya.

Tak berapa lama mereka sampai di pelataran hotel Kencana. Setelah mendapat parkir mereka turun dari mobil dan melangkah menuju ke hall tempat acara berlangsung.

Tamu undangan sudah banyak yang berdatangan. Terlihat dari mengularnya antrian untuk bersalaman dengan mempelai pengantin. Ayunda hanya mengikuti Reisa termasuk ikut dalam antrian.

Selesai bersalaman Ayunda dan Reisa mulai mengambil makanan. Sesekali Reisa terdengar saling sapa dengan tamu yang lain. Hanya Ayunda yang terlihat ikut-ikutan tersenyum karena tidak ada seorang pun yang dikenalnya.

"Nda, aku mau foto-foto dulu ya sama pengantin bareng temen alumni. Kamu makan aja sepuasnya, cari tempat duduk yang nyaman kalau ada," pamit Reisa saat Ayunda sedang mengambil es krim.

"Iya, santai aja. Ntar kabarin aja kalau udah selesai. Aku kayaknya mau nepi dulu deh," jawab Ayunda dan dibalas anggukan Reisa.

Setelah Reisa pergi, Ayunda berjalan menepi ke tempat yang agak sepi. Agak jauh dari pusat pesta yang biasanya ada satu dua kursi yang tersedia.

Ayunda sedang duduk menikmati es krim dan mengamati orang-orang ketika ia mendengar suara tangis anak kecil. Ayunda menoleh ke belakang dan dilihatnya anak perempuan kecil sekira umur enam tahun yang sedang menangis sembari memanggil ayahnya.

Tak tega melihatnya, Ayunda segera beranjak dari tempat duduk dan menghampiri anak itu.

"Halo, Sayang kamu kenapa sendirian? Nama kamu siapa?" sapa Ayunda lembut agar tak membuat anak itu takut.

Anak kecil itu hanya menatap Ayunda dengan air mata yang masih membasahi pipi.

"Jangan takut, ya. Kenalin nama tante Ayunda. Nama kamu siapa?"

"Alia," jawabnya singkat.

Ayunda mengusap air mata Alia dan menuntunnya untuk duduk dulu dan menawarinya es krim. Kebetulan Ayunda mengambil dua cup karena ia memang sangat suka es krim. Sambil menyuapi Alia es krim, Ayunda menanyakan kembali pertanyaanya tadi.

"Mama nggak ada. Udah pergi. Alia sama Ayah." Ayunda mencoba memahami jawaban singkat-singkat Alia.

"Jadi, Alia ke sini sama Ayah?"

Gadis kecil itu mengangguk. Kini tangannya sibuk menyendok es krim, tak mau disuapi lagi.

"Sekarang Ayah Alia kemana?" sambung Ayunda. Diperhatikannya gadis kecil yang manis dengan rambut pendek sebahu digerai, bando mahkota menghias kepalanya, sekilas Ayunda merasa Alia mirip seseorang.

"Alia!" Terdengar suara berat memanggil nama gadis kecil itu, Ayunda pun ikut menoleh.

"Ayah!" Segera Alia turun dari kursi dan menyongsong ayahnya.

Ayunda ikut menoleh dan terkesiap melihat siapa ayah Alia.

***

Menjemput Restu KeduaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin