Bab 8. Kenyataan Pahit

149 12 3
                                    

"Lagi mikirin apa Nda, kok diem aja?" Ayunda terlonjak dan seketika sadar dari lamunan masa lalunya. Reisa bertanya karena Ayunda melamun saja sedari tadi.

"Eh, maaf, kamu nanya apaan, Rei?" sahut Ayunda tergeragap. Reisa tersenyum melihat tingkah Ayunda.

"Nggak, cuman nanya kamu lagi mikirin apa, kok serius banget ngelamunnya," terang Reisa membuat Ayunda salah tingkah.

"Aku kira setelah sekian tahun berlalu dan mencoba untuk memaafkan mereka, aku juga sudah lupa rasa sakitnya. Ternyata, saat aku ketemu mereka lagi, rasa sakitnya masih ada Rei," ungkap Ayunda tanpa menoleh pada Reisa. Kepalanya bersandar pada jendela dan matanya menerawang ke arah jalanan.

"Manusiawi, Nda, karena kamu bukan malaikat. Kamu boleh, bahkan harus memvalidasi perasaan kamu sendiri. Menerima dan mengakui bahwa kamu sakit, kamu tidak baik-baik saja itu tidak salah." Satu tangan Reisa yang terbebas memegang tangan Ayunda, memberi dukungan.

"Iya, Rei. Alhamdulillah sekarang aku merasa telah terbebas dari rasa dendam. Memang masih ada rasa sakit sedikit, tapi bukan berarti aku masih cinta sama Farid, nggak sama sekali. Justru aku bersyukur banget Allah pisahkan kami sebelum terikat pada pernikahan."

Reisa melihat kejujuran di balik mata Ayunda. Tidak ada lagi tatapan kosong yang dulu selalu terlihat. Mata Ayunda yang bulat kini kembali hidup. Wajahnya yang oval dulu selalu muram dan kusam karena tak mau lagi merawat diri kini tampak segar dan merona. Rambutnya yang panjang kini terlindungi di balik hijab. Sebagai seorang sahabat, Reisa sangat bersyukur dan lega melihat kesembuhan Ayunda dari luka batinnya.

Reisa masih ingat dengan jelas saat Ayunda begitu terpukul mendengar fakta kenapa Farid memutuskannya. Saat itu kebetulan Ayunda menginap di rumahnya. Untuk kesekian kali Ayunda mencoba menghubungi Farid. Setelah beberapa hari tidak pernah diangkat dan dibalas pesannya, tiba-tiba saat itu telepon dari Ayunda diangkat. Reisa bisa mendengar semua percakapan itu karena Ayunda sengaja menyalakan loudspeaker.

"Halo, dengan Mirna di sini, ada yang bisa dibantu?" terdengar suara perempuan dengan nada centil di seberang telepon.

Reisa dan Ayunda saling pandang dengan penuh tanda tanya.

"Halo, bisa saya bicara dengan Farid?" Dengan tergagap Ayunda bertanya pada perempuan di seberang telepon.

"Mau apa lagi? Bukankah hubungan kalian sudah berakhir? Aku masih ingat, kok, isi pesan itu, atau mau aku ingatkan? Apa masih kurang jelas bahwa Farid mencampakkanmu, eh maaf, maksudnya memutuskanmu demi aku. Kamu mau tahu kenapa? Karena Farid sudah bosan dengan perempuan yang terlalu penurut, terlalu cinta dan terlalu biasa." Dengan tidak tahu malu perempuan di seberang telepon terus berbicara tanpa memberi kesempatan pada Ayunda.

Reisa melihat tangan Ayunda mengepal kuat, wajahnya merah, napasnya naik turun. Reisa mendekati Ayunda dan memegang pundaknya memberi dukungan dan kekuatan.

"Saya tidak kenal kamu dan tidak ada urusannya dengan kamu. Saya mau bicara sama Farid sekarang juga. Kamu tenang saja saya bukan mau mengemis cinta darinya, saya pun tidak menginginkannya. Saya mau bicara sebagai dua orang dewasa bukan pengecut yang lari dari masalah," tegas Ayunda yang berbicara tanpa tergagap lagi dan tangannya menggenggam erat tangan Reisa mencari kekuatan.

"Baiklah kalau kamu memaksa, tapi ingat jangan pernah memohon untuk kembali lagi. Ingat itu!" ancam perempuan yang menyebut dirinya Marni itu.

"Tidak akan," jawab Ayunda memastikan hal itu tidak akan terjadi.

"Halo, Ayunda. Maaf tadi aku sedang ke toilet. Aku tidak tahu kamu menelepon," ungkap Farid di seberang telepon. Suaranya terdengar gagap tidak menyangka Ayunda yang meneleponnya.

"Sudah basa-basinya, aku tidak butuh. Asal kamu tahu aku tidak sedang ingin balikan. Dari kemarin aku menghubungimu hanya ingin tahu apa alasannya sehingga kamu tiba-tiba memutuskan hubungan kita. Aku merasa nggak adil aja"

"Ayunda, aku minta maaf harus dengan cara begini, tapi sungguh aku tidak bermaksud menyakitimu. Semua itu karena aku tidak tega untuk mengatakan langsung padamu," jelas Farid seolah menyesal.

"Tidak tega kamu bilang? Apa namanya kalau memutuskan hubungan pertunangan hanya melalui Whatsapp? Bukan tega lagi, tapi jahat, tahu nggak?!" Ayunda berkata dengan setengah berteriak mencoba menahan diri, tapi tangisnya pecah juga.

Reisa masih tetap menggenggam tangannya karena hanya itu yang bisa ia berikan. Reisa sengaja diam saja meskipun sudah gatal mulutnya ingin mendamprat Farid, tetapi ia ingin menghargai privacy mereka.

Ayunda mengusap air matanya dan kembali berkata, "Aku mungkin bisa terima kita putus, tapi bagaimana dengan orang tua kita? Aku harus bilang apa sama mereka? Beri aku alasan untuk bisa menjelaskan pada mereka nanti."

"Maaf ...." Hanya kata itu yang berulang kali Farid ucapkan.

"Berhentilah meminta maaf, kamu tidak berhak memintanya sekarang. Karena yang harus kamu katakan adalah apa alasan kamu memutuskan aku, apa salahku Fariiid?"

"Kamu benar aku nggak berhak meminta maafmu, dan kamu nggak salah apa-apa. Aku yang tidak bisa menjaga cinta dan hubungan kita. Aku ... aku jatuh cinta pada gadis lain, tapi bukan berarti kamu tidak baik. Sebaliknya, kamu terlalu baik buat aku dan itu membuatku merasa terbebani."

"Basi! tidak ada orang yang terlalu baik untuk dirinya tapi dicampakkan demi perempuan lain. Tidak perlu kamu mengasihaniku, tidak perlu kamu menjaga perasaanku yang sudah kamu hancurkan."

Ayunda menarik napas panjang kemudian melanjutkan berkata, "Pulanglah dan kita hadapi orang tua kita sama-sama. Jadilah lelaki dewasa dan terhormat sekali ini. Katakan semuanya di hadapan mereka, aku tunggu segera."

Setelah mengatakan itu, Ayunda memutuskan sambungan telepon tanpa pamit. Malam itu Ayunda menangis semalaman, bahkan dalam tidurnya sedu sedan itu masih terdengar.

"Kenapa Rei, kok kamu senyum aneh gitu sama aku?" tanya Ayunda heran melihat Reisa dari tadi memandanginya sambil sesekali menengok jalanan dan sesekali menarik napas .

"Aku bangga sama kamu, Nda. Kamu udah bisa melewati rasa sakitmu dan menjadi seperti sekarang." Reisa mengatakannya dengan tulus dan senyum bahagia tersemat.

"Dan aku selalu berharap kamu segera menemukan jodoh yang tepat Nda."

Ujung bibir Ayunda melengkung ke atas membenruk senyuman yang sangat manis.

Menjemput Restu KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang