14. Pukulan Maut

32 3 0
                                    

Selamat Membaca

Mendengar terikannya membuat Enggar bergegas bangkit dari sofa. Langkahnya terburu-buru sembari memegangi infusnya yang tak lagi menempel pada tiang besi. Lelaki itu melakukannya karena mendorong benda itu cukup kerepotan. Jadi, ia memilih untuk membawa infusnya seperti halnya habis mengambil buah mangga milik tetangga.

“Kamu kenapa?” tanyanya setelah ia sampai di belakang Sara. Mendapati gadis itu masih berdiri dan kondisinya tak ada yang lecet, membuat lelaki itu cukup merasa tenang.

“Kenapa kamar ini banyak sekali foto shoot milik Praya?” tanya gadis itu lalu berbalik menatap Enggar dengan menyeramkan.

“Apa kau yang terobsesi padanya?” tanya Sara penasaran membuat dahi lelaki itu mengerut. Lalu di lanjutkan tertawa hambar.

“Kabalik, Praya yang terobsesi padaku,” jelasnya dengan sisa tawanya.

“F-foto ini?” tanya Sara menginterogasinya. Padahal itu bukan dirinya, tapi entah kenapa Sara merasa perlu penjelasan.

“Itu kan kamu sendiri yang pasang, eh, maksudnya Praya sendiri yang pasang,” jelas Enggar. Ia melangkah pergi meninggalkan kamar itu dan menuju ke sofa tadi. Sementara Sara mengekor di belakang lelaki itu.

“Alasannya?” tanya Sara kembali. Tangannya sibuk menyiapkan air putih di atas gelas dan membuka obat-obat yang masih terbungkus.

“Katanya, supaya tiap hari saya kerja bisa memandangi wajahnya meski dia sibuk,” jelas lelaki itu membuat Sara mengangguk paham.

Gadis itu memberikan tiga butir obat dan segelas air putih. Enggar pun meminumnya tanpa banyak bicara. Lalu memberikan sisa air itu ke tangan Sara, gadis itu meraihnya dan mengembalikannya ke atas meja.

“Kenapa masih kerja kalau memang sakit?” tanya Sara dengan serius. Matanya menangkap kantong darah yang sekarang jadi infusnya.

“Males aja di rumah, kamu sendiri udah jarang banget ke rumah dan biasanya sering ganggu aku sampe aku muak,” jelas lelaki itu, tanpa di sadari menceritakan kebiasaan Praya dulu.

Membuat gadis itu berniat untuk mengusilinya.

“Ohhh, kamu kengen ya, hayooo,” goda Sara dengan wajah lucunya.

“Ah, sudahlah jangan di bahas,” pinta Enggar menahan malu mencoba mengubah topik lain.

“Apa? Aku tak dengar, kau bilang apa?” ulang Sara berkali-kali.

“Ku bilang—“ kalimat Enggar terpotong oleh gedoran pintu secara tiba-tiba.

Membuat kedua manusia itu melirik ke arah pintu secara bersamaan.

“Pak—“ potong suara itu, ia melangkah lalu menunduk lelah sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Mencoba bernapas dengan tenang karena sepertinya ia habis berlari  di kejar sesuatu.

“Ada apa, Allen?” tanya Enggar memasang wajah cemasnya.

“Nyonya pingsan, Pak,” sahutnya setelah merasa sanggup menghirup oksigen dengan tenang.

“Hah, dimana?” tanya Enggar kebingungan dan hatinya merasa cemas.

“Di ruang rapat,” sahut Allen kembali.

Enggar bangkit dan Sara mengikuti. Gadis itu melangkah bersama dengan Enggar dan menuntunnya supaya tak terjadi apa-apa. Mereka menggunakan lift pribadi milik sang direktur. Sementara Allen terpaksa menggunakan tangga karena tiga lift lainnya sedang di perbaiki.

“HAPPY BRITHADAY, ENGGAR.” Wanita yang tadi ia khawatirkan setengah mati sedang memegangi kue rasa cokelat di tangannya. Bertuliskan lilin usia kepala tiga. Wajahnya tersenyum lega dan sepertinya itu ada kabar baik.

Ketulusan Si Penguntit (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang