35. Calon Istri?

39 2 0
                                    

Selamat Membaca

Kacamata hitamnya terasa longgar membuat satu jari menekan batang kacamata agar nyaman kembali. Rambut panjangnya terurai dengan dres lengan pendek bunga-bunga mawar merah mudah. Bawahan dres itu hanya sampai lutut. Sementara kakinya mengenakan sepatu boots putih berhak tinggi dan tas berwarna putih di tangan kirinya.

Langkahnya yang penuh percaya diri menyusuri koridor rumah sakit bersama dengan seorang pria di sampingnya. Pria itu juga terbilang rapi dengan wajah lumayan rupawan. Dan kedua tangan mereka telah terikat cincin pernikahan.

“Saya mau tanya, kamar pasien bernama Madam Sara Pradya.” Wanita itu membuka sedikit kacamatanya dengan menatapi seorang perempuan yang menjaga meja resepsionis.

“Sebentar, saya cek dulu,” balasnya ramah.

“Di kamar Vip lantai tujuh nomor 707,” ucap pelayan resepsionis.

“Oh, makasih.” Wanita itu melanjutkan langkahnya bersama dengan suaminya.

Cukup sombong rupanya, pake kamar Vip segala, batin wanita itu. Untung saja aku mengenakan riasan Korean look dan outfit kece terus suami kaya pula, katanya.

Mereka berdua memasuki lift dan menekan lantai tujuh. Beberapa detik sampailah di lantai tujuh. Matanya menyusuri pintu kamar dan mencari angka 707. Saat menemukannya, wanita itu tiba-tiba menggandeng tangan suaminya.

Mereka saling bertatapan dan tersenyum licik. Sepertinya sudah tahu akan melakukan apa di dalam sana.

•••

Sara mulai membaik dan kini gadis itu duduk selonjor di ranjang pasien. Menikmati sarapan di menu ala rumah sakit yang tentunya tidak enak di makan.

Aku jadi pengen mie ayam, bakso, sosis, haduhhh, batin Sara mengaduk-aduk makanan itu dengan malas.

Sementara Enggar sedang sibuk bersama ponselnya. Nakas di samping lelaki itu hanya ada bunga dari teman dekatnya yang tak bisa datang. Sementara di Nakas Sara ada buah-buahan dari ibunya Enggar.

Kenapa, ya? Keluarga lelaki itu menganggapku Praya? Sebenarnya Praya siapa? Dan anak kecil bernama Galen itu juga masih hidup, batin gadis itu melamun sembari mengaduk bubur di piringnya.

“Eh, Kak Sara. Aku kangen lo,” ucap seseorang membuat lamunan Sara hancur. Gadis itu menoleh ke arah pintu.

“Eh, Salfa. Kamu juga menjengukku,” kata Sara tak percaya.

Sebetulnya aku muak melihat wajahmu, batin Sara jujur.

Gadis itu malah duduk di samping Sara, tempat duduk kursi plastik yang disediakan rumah sakit. Kedua manusia itu membelakangi Enggar yang sedang tertidur terlentang. Lelaki itu tetap fokus pada ponselnya.

“Iya lah, Salfa gak sempat membawa buah tangan. Jadi Salfa Cuma membawa satu juta rupiah buat kakak bayar biaya kamar ini.” Salfa menabur uang itu ke atas kepala Sara.

Enggar yang melihatnya merasa kesal dan risih. Ia lebih memilih menunggunya pada saat momen melonjak dan akan ia selesaikan dengan cepat.

“Kamu kenapa menaburnya? Ambillah uangmu, aku juga punya kalo Cuma segitu,” tandas gadis itu dengan wajah datar. Sara kesal dengan tindakan Salfa yang selalu saja merendahkan orang.

“Oh, sombong ya. Ingat ya, kamu belum sukses udah sombong. Terus jadi hakim masih bayaran kecil dan usia udah kepala tiga, masih saja belum menikah,” jelas Salfa marah-marah.

“Oh iya, lupa. Siapa juga yang suka sama kakak, kan kak Sara gak disukai di kampung, kan? Paling jelek juga punya muka,” tambah Salfa berbicara kelewatan batas. Sementara suaminya hanya diam tersenyum meremehkan.

Ketulusan Si Penguntit (Tamat)Where stories live. Discover now