Chapter 3

4.7K 587 10
                                    

Ini kali pertama dia merasa punya keluarga. Seperti diterima utuh.

Alasan lain dia ingin menikah dengan Arsad, dia jatuh hati dengan keluarga Tante Elma. Arsad menjadi yatim piatu sejak umur sepuluh tahun. Tapi keberadaan Tante Elma dan Om Tama membuat Indira yakin kalau Arsad tidak kekurangan kasih sayang.

Dan dia ingin menjadi bagian dari keluarga itu.

Indira menyiapkan buket bunga yang super cantik untuk kunjungan malam ini. Dia merangkainya sendiri di antara kesibukan pesanan buket lain meski hanya makan malam biasa. Arsad sudah memperingatkan agar tidak perlu membeli hadiah. Dia yang akan diomeli tantenya nanti karena menghamburkan uang. Indira menurut, hanya bunga, bukan hal mewah apalagi mahal.

Keramahan dan kecantikan Tante Elma membuat usia gagal bekerja padanya. Sepasang matanya menyorot keteduhan dan kelembutan. Kesempurnaan lainnya, Tante Elma memiliki suami yang baik dan tampak begitu mencintainya. Setiap datang ke rumah ini Indira selalu merasakan kehangatan yang tidak pernah dia dapat di mana pun. Sesekali dia akan membayangkan mereka adalah cerminan dirinya dan Arsad ketika tua nanti. Terus mencintai walau setiap rumah tak sesempurna yang terlihat.

Makan malam terasa akrab dengan obrolan ringan tapi bermakna. Sesekali tawa terselip di antaranya. Arsad lebih banyak menyimak dan nimbrung sekali-dua kali. Dia tetaplah menjadi seperti biasanya dan tidak ada yang mempermasalahkan itu di rumah ini.

Selepas dari meja makan, mereka duduk di ruang TV. Obrolan lainnya berlanjut.

"Arsad nggak ngerepotin kamu kan, Ndi?"

Subjek yang dibicarakan melepas pandangan dari layar besar. Dia menoleh ke dua perempuan yang punya hobi sama; suka cerewet, mengomel, serta menginvasi hidupnya untuk hal-hal remeh. Meski dia tetap punya kendali penuh atas hidupnya, dua perempuan ini tetap saja menjadi ancaman.

Pertemuan mereka memang cocok sekali untuk membuat hidup Arsad yang ingin tenang, menjadi riuh.

"Enggak, Tante. Aku justru yang ngerepotin dia."

"Kamu ini, suka banget merendah. Sama Tante nggak usah sungkan, Ndi. Arsad nggak keberatan kok kita gibahin dia. Salah atau nggak salah, kalau kita ngomel, dia cuma dengerin."

Indira tersenyum maklum. Teringat jika Tante Elma mempunyai anak lelaki sepantaran dengan Arsad tapi harus menyerah setelah berjuang melawan kanker. Dia bisa melihatnya, bahwa sesekali wanita paruh baya itu akan menatap Arsad dengan tatapan rindu sekaligus kosong. Tapi tak jarang sorot itu terlihat hidup hanya dengan keberadaan Arsad di sekitarnya.

Arsad mendecak lirih. Ketika ponselnya bergetar, dia pamit ke teras samping. Indira mengikuti punggung yang menjauh dengan matanya. Dari pintu kaca dia melihat Arsad menerima telepon. Mungkin urusan pekerjaan.

"Arsad bukan anak yang manis, Ndi. Beruntung dia dapat kamu yang pengertian dan sayang sekali ke dia. Kamu juga sabar ngadepin tingkah dia yang kayak kulkas itu." Kemudian dengan nada jenaka. "Tante kalau nggak inget dia keponakan Tante satu-satunya, mungkin Tante sudah sering jewerin."

Indira tertawa pelan. "Nggak ada yang lebih besar dari rasa terima kasihku karena diterima di keluarga ini, Tan."

Wanita paruh baya itu terdiam, ikut menatap ke pintu kaca. Keponakannya sibuk bicara di telepon dengan seseorang. "Semoga dia nggak pernah nyakitin kamu, Ndi. Kamu orang baik."

"Tante—"

Ada ketulusan yang terpancar dari sepasang mata itu ketika menoleh dan menemukan Indira. "Kalau sampai dia bikin kamu nangis atau kecewa, Tante sulit maafin dia nanti. Biarpun besar bukan di rumah ini tapi dia sudah seperti anak Tante sendiri."

Home. [End]Where stories live. Discover now