Chapter 31

3.8K 634 108
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Arsad keliru. Ketakutan terbesarnya bukanlah Indira yang marah dan membencinya, melainkan melihat Indira yang terus diam, dan tampak kesulitan mengekspresikan marahnya. Ini bukan hal yang baik untuk Indira sendiri. Arsad tidak masalah kalau Indira sarkas padanya seperti di dalam mobil tadi.

Dia berhasil membawa Indira pulang dengan kebisuan yang mencekik sepanjang jalan. Mereka harus bicara setiba di rumah. Arsad tidak perlu cerita dari awal, dia hanya perlu menjawab pertanyaan yang Indira ajukan. Tidak mudah, keadaan ini justru sulit baginya.

Tapi kenyataan berjalan sebaliknya.

Ruang tamu rumah mereka senyap. Arsad kembali dari kamar setelah mengambilkan selimut untuk istrinya yang menolak ganti baju dan memilih terduduk termenung di sofa. Dia juga mematikan pendingin ruangan.

Indira merenggut selimut dari bahu lalu melemparnya ke sudut sofa. Memandang suaminya dengan putus asa. "Katakan sesuatu. Kamu bilang aku harus percaya sama kamu. Kamu harus yakinkan aku kalau kamu nggak sejahat yang Ibu katakan."

"Nanti kamu sakit." Arsad mengambil selimut tersebut, berniat memakaikannya kembali di tubuh istrinya yang kedinginan. Bibirnya memucat. Dia khawatir besok Indira demam. Meski kondisinya sendiri juga mengenaskan.

"Kamu nggak berbeda dari mereka. Kamu palsu."

Tangan Arsad yang memegang gumpalan selimut jatuh ke sisi tubuh. Mengembuskan napas. Rupanya selama ini dia gagal menunjukkan perasaan cintanya. Lagi pula, siapa yang akan percaya.

"Iya, aku palsu. Kamu pasti sedih dan kecewa. Kamu pasti sangat marah."

Kamu bahkan nggak nangis. Hanya raut putus asa yang semakin dalam dan menyedihkan. Membuat Arsad berkali-kali mengutuk dirinya sendiri. Membuatnya berubah pikiran, alih-alih memenuhi kepala istrinya dengan semua pembelaan, dia ingin memberi validasi setiap luka Indira yang tertoreh karenanya.

Arsad berbalik, memutus kontak mata dengan Indira. "Aku nggak punya penjelasan apa pun sekarang. Kamu pasti udah dengar dari Ibu. Kamu boleh marah. Silakan marah. Nggak perlu ada yang kamu tahan. Di rumah ini, kamu bebas meluapkan apa pun yang kamu rasakan."

Sama aku, kamu boleh merasakan apa pun. "Jadi manusia yang terlalu baik melelahkan kan, Ndi? Marah nggak bikin kamu dibenci, nggak bikin kamu ditinggalkan. Kamu berhak marah selagi kamu punya alasan. Terlepas aku memang salah."

Sisi hati Arsad yang lain menganggap dia telah bersikap tolol. Ada kesempatan untuk menjelaskan, Indira mendengar seperti yang dia inginkan. Tapi dia lebih tersiksa melihat Indira harus menelan rasa kecewa dan bersikap biasa saja besok paginya. Seperti yang sudah-sudah. Tidak adil ketika dia memang bersalah dan karena Indira memang pemaaf, lantas berharap dimaafkan dengan mudah.

Setidaknya dia harus menerima akibatnya. Apa pun yang Indira dengar, bukankah sebagian besar memang fakta? Arsad punya tujuan lain menikahi Indira. Meski hanya sebatas gagasan atau pada akhirnya hanya menunggu waktu untuk mewujudkannya, tapi berapa kali dia membatin nait buruk pada Indira? Dirinya sendiri bahkan tidak bisa menyangkal, apalagi membela diri. Tidak punya muka untuk mengemis maaf saat ini. Merasa tidak pantas.

Home. [End]Where stories live. Discover now