9 - Semesta & Skenarionya

7 2 0
                                    

Kita, Bandung & Semestanya

Semesta tidak mengubah alur dan kisah hidup kita. Tetapi, kitalah yang merencanakan dan dapat mengerti akan hal itu—Nala Putri Asmarandana.

***

SIRINE berbunyi seperti alarm jam yang berdering dengan kencang. Tangis dan air mata tumpah ruah tak terbenahi. Mobil polisi hilir mudik tiada henti diikuti beberapa wartawan yang mencoba mencari informasi.

Nala menggenggam erat tangan Thalia dengan kuat. Menyalurkan kekuatannya agar gadis itu bisa tabah. Nala mengerti, ini sangat tidak mudah untuk dilewati. Namun, semua ini sudah kehendak Tuhan dan tidak bisa kita ubah begitu saja.

Tangis Thalia semakin menjadi ketika papanya—Heri Susanto Mahameru—ditangkap oleh polisi dan dimasukan ke dalam mobil. Awak media juga lautan manusia memenuhi teras rumah hingga jalan menuju arah halte bus.

Ini cuma mimpi, kan?

Gadis itu semakin terisak, ketika cinta pertamanya itu tersenyum sendu ke arahnya dengan lemah serta pasrah dengan jalan yang Tuhan berikan. Dari kejauhan, mama dan kedua adiknya menangis sembari mengantarkan pahlawan mereka menuju jeruji besi yang menyeramkan.

Gadis itu berlari, menghambur memeluk Rena erat menumpahkan tangisnya dengan kencang. Nala yang melihat itu ikut merasakan apa yang Thalia alami saat ini. Ia juga berpikir, jika ayahnya mengalami hal yang sama, apa yang harus ia lakukan?

"Thal, sabar ya. Gue yakin papa lo nggak salah."

Telah ditangkap seorang pengusaha sukses, Heri Susanto Mahameru. Atas dasar penggelapan dana, dan tindakan asusila kepada seorang pegawai.

Terdengar cukup menyakitkan, tetapi Nala juga tidak tahu kebenaran yang sebenarnya itu apa. Gadis itu menerobos kerumunan. Menghampiri Thalia berserta keluarganya, membawa mereka masuk ke dalam dan membiarkan para manusia di luar sana menunggu sampai bosan.

"Bi Asih, bisa tolong ambilkan teh hangat buat Thalia, Tante Rena, sama mereka berdua?" pinta Nala. Bi Asih mengangguk menyetujui.

Nala mengelus pundak Thalia dengan lembut. Membiarkan emosinya keluar, setelah itu mengontrol dirinya sendiri.

"Thal, jangan nangis terus, ya? Aku bakalan ada buat kamu kok!" Nala menyemangati, tetapi masih tidak ada respon darinya.

Bi Asih datang dengan pesanan Nala, tetapi yang membuatnya bingung adalah kehadiran tiga laki-laki yang tak diundang. Alan menghampiri Nala , disusul Heru. Kemudian Yunan berlari ke arah Thalia dan langsung memeluk gadis itu.

Kontan, ketiganya syok bukan main. Apakah mereka berdua menjalin sebuah hubungan?

"Kamu ngapain di sini, Lan?" tanya Nala bingung.

"Gue juga khawatir. Makanya nyusul, si Yunan dari tadi terus minta gue buat ikut sama dia."

Nala beralih ke arah Heru. " Kalau kamu Heru?" Giliran laki-laki bermata elang itu yang Nala tanya.

"Gue khawatir juga. Makanya ikut ke sini. Jangan mikir yang aneh-aneh, La."

Ya, ya, ya. Nala tidak ingin membuang waktunya untuk hal itu. Ia juga sudah tahu kenapa laki-laki itu bisa ada di sini bersama Alan.

"Thal, jangan nangis lagi ya? Gue bakal nemenin lo di sini." Yunan mengelus pucuk kepala Thalia dengan lembut. Atas semua yang dialaminya, Thalia wajib mendapatkan support darinya.

Masih dalam dekapan Yunan. Alan membawa Nala menjauh, Heru yang melihat itu mengikuti dari belakang diam-diam. Mereka mau ngapain?

"Lan, aku jadi takut ini bakal kejadian sama—"

"Nggak bakal, La. Percaya sama gue. Tuhan udah punya rencana buat kita. Tapi, kalau pun itu terjadi, berarti Tuhan pengen kita melewatinya."

"Kasian ya, Thalia? Mana kita udah kelas akhir lagi. Takutnya sekolah dia keganggu cuma gara-gara ini doang," kata Nala. Dan gadis itu menatap ke arah Thalia yang masih menangis.

Tangan Nala ditarik oleh Alan. Gadis itu sedikit terkejut sampai ingin menepisnya. Namun, itu tidak berhasil. "Mau ke mana, Lan? Lepasin!"

"Gue mau nunjukin sesuatu sama lo."

Nala hanya menurut, setiap hal yang Alan tunjukkan pasti selalu berhubungan dengan apa yang terjadi. Jadi, Nala tidak ingin menolaknya.

Sampai di rooftop rumah Thalia. Alan menyuruh Nala melihat ke bawah yang mana para awak media masih setia menunggu Thalia atau siapapun keluarganya untuk memberikan penjelasan.

"Aku ngerti, Lan. Kita itu manusia bervalidasi pada satu titik. Menguji seseorang dengan keadaan yang sulit, setelah itu diputar supaya apa yang telah terjadi bisa terbuka tanpa celah yang dialami."

"Mereka cuma mau penjelasan. Setelah dapat apa yang mereka mau, mereka juga bakal pergi untuk menyebarkan berita itu. Terkadang, berita yang disiarkan tidak sesuai fakta. Yang menjadikan semua pendengar hanya berfokus pada satu arah aja," jelas Nala. Alan menganga, bagaimana bisa Nala mengerti semuanya?

Alan tersenyum. Tidak buruk juga beradu argumen dengan gadis di sampingnya ini. "Semua yang Lo ucapin emang ada bebernya. Tapi, yang menjadikan mereka semua mati-matian buat dapetin berita itu hanya karena uang aja. Lo ngerti, kan? Sekarang kalau nggak punya duit, nggak bakal makan."

"Makanya itu, sumber pundi-pundi rupiah mereka dihasilkan dari penyebaran berita-berita bohong. Ya, karena mereka cuma bekerja. Jadi, bagaimana pun caranya, mereka harus dapet uang."

"Politik sama dunia maya, keduanya punya pengaruh tersendiri. Jadi, gue harap lo bijak menanggapi hal ini.

Nala mengangguk. "Aku ngerti. Tapi, yang harus lebih waspada itu adalah kamu sendiri."

Alan menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"

Cuaca sore ini sangat mendukung suasana. Embusan angin cukup menyegarkan tubuh mereka yang sudah bau karena keringat.

Nala menikmati suguhan alam dengan gratis. Namun, ia masih bersedih dengan apa yang sudah terjadi, matanya tidak bisa berbohong.

"Lan, kenapa semesta ngasih rintangan yang sulit buat hidup kita ya?"

Alan menoleh ke arah Nala. "Karena kalau hidup gitu-gitu aja nggak bakal seru."

"Terus menurut kamu kalau hidup itu penuh dengan tipu itu apa?"

"Tunggu! Lo kenapa nanya hidup penuh tipu?"

Nala cengengesan. "Kan aku nanya Alan! Jawab dulu atuh, ya."

"Misalnya kaya gini. Lo berbohong kalau lo itu anak pejabat. Tapi, nyatanya lo adalah anak petani. Di sini udah ketauan, kan? Permasalahannya, lo bakal dihantui dengan apa yang udah lo ucapin."

Nala mengangguk. "Kalau semesta dengan cinta?"

Laki-laki itu terkejut. "Apa, cinta?"

***
Bersambung....

Bandung, 17 Desember 2023
Arusha Nagara

Kita, Bandung & Semestanya Where stories live. Discover now