BAB 28. Kesedihan Tak Bernama

3K 172 30
                                    

Mami sangat senang saat aku dan Bian menginap di rumahnya bersama Raffa. Sambutannya benar-benar luar biasa, seolah-olah ada pesta kecil di rumah ini. Cara ia memperlakukan Raffa yang seperti cucu sendiri itu membuatku terharu.

Raffa kegirangan saat mencoba kolam renang yang luas di halaman belakang. Bian sempat menemaninya sebentar, sebelum kemudian bergabung bersamaku dan Mami di teras.

"Jadi kapan kalian pindah ke rumah Angsana?" tanya Mami.

Bian yang sedang menyeruput kopinya, menatapku sekilas. "Terserah Innara kapan maunya."

"Secepatnya, Mi. Mungkin bulan depan?" timpalku.

"Ya, lebih cepat kebih bagus. Lagian itu lebih dekat kalau ke sini atau ke Planet Kidz. Terus rumah kalian yang sekarang mau diapain?"

"Ya biarin aja kosong. Rumah sekarang itu lebih dekat ke kantorku. Mungkin aku masih bakal sering nengokin."

Mami cemberut. "Udah, kontrakin aja! Ngapain juga masih ditengok-tengokin."

Bian tidak menjawab dan memilih sibuk dengan roti bakar yang terhidang di meja.

"Ngomong-ngomong, Celine masih di sana?" Nada suara Mami terdengar kurang enak saat bertanya.

"Ya. Kenapa memangnya?" 

Mami menghela napas panjang, tampak menimbang-nimbang seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, urung. Perempuan itu melirikku sekilas, lalu mengulas senyum tipis. Ada sorot khawatir di wajahnya walau tak terlalu kentara.

Aku mencoba mengabaikan suasana yang mendadak canggung itu dengan meneriaki Raffa agar berhati-hati saat berlarian di pinggir kolam.

"Kalau Mami khawatirin soal kejadian setahun lalu. Nara udah tahu soal itu, kok," kata Bian dengan ekspresi wajah yang sangat datar. Seolah-olah, apa yang ia ucaokan bukan hal besar yanh harus dikhawatirkan. Namun, sayang, sikapnya itu justru membuat Mami terlihat syok.

"Apa?" Ia memandang ngeri ke arahku. 

Tidak ada yang bisa kulakukan selain mencoba melukis senyum padanya. Aku tahu Mami sangat ingin menjaga perasaanku dengan menyembunyikan hal itu. Namun apa daya, aku sudah terlanjur mengetahui semuanya.

"Nara ..." Ia meraih tanganku. Sorot matanya tampak sedih.

"Celine itu temanku, Mi. Nggak terjadi apa-apa di antara kami. Baik sekarang maupun di masa lalu." Saat berkata begitu, Bian tidak melepaskan tatapannya dariku. Mungkin mencoba meyakinkan. Entahlah. Aku lebih memilih diam seribu bahasa.

"Ya, tapi tetap saja nggak baik kalau kalian tetanggaan. Apa saja bisa terjadi ... Oh, Tuhan." Mami mengusap wajahnya yang berubah muram. 

"Aku memang brengsek di masa lalu. Tapi aku nggak serendah itu dengan sengaja bermain api sama Celine, sedang aku sudah menikah!" sentaknya gusar. Jelas sekali Bian tampak tersinggung dengan tanggapan Mami barusan.

Aku seperti terjebak dalam situasi yang benar-benar canggung. Tidak tahu harus berkata apa. 

"Baiklah. Yang jelas Mami senang banget kalau kalian bisa segera pindah dari sana dan memulai hidup baru." Suara Mami mulai melunak. 

"Udah sejak lama Mami kepengen, kalau nggak tinggal di sini bersama Mami, ya, di rumah Angsana yang jauh lebih layak. Dan kalau bisa ... tahun ini Mami berharap dapat kabar baik. Mami kepengen cucu dari kalian."

Aku yang sedang minum hampir saja tersedak mendengar ucapan Mami. Kutatap Bian yang rupanya juga tengah memandangiku. Wajahnya tegang sekali.

"Maaf kalau harus mengecewakan Mami, tapi kami udah sepakat untuk belum mau punya anak. Nara berencana untuk kuliah lagi. Pasti repot kalau hamil sambil kuliah, kan?"

ALWAYS YOUWhere stories live. Discover now