KATUMBIRI, 1985.

50 8 0
                                    

“Bapak sudah dengar semuanya.”

“Dengar apa?”

“Kau akan jadi ajudan Banyu, tapi Bapak tidak setuju.”

“Aku tidak butuh pendapat Bapak, yang jelas dia akan kirimi Bapak uang setiap bulannya, Bapak cukup terima dan lepaskan aku untuk sebuah pekerjaan yang layak. Maka kita sama-sama hidup dengan baik.”

Pati Anom menatap Telaga Biru tajam selaras dengan tubuhnya menguar asam keringat sepulang berladang, urat-urat menyombongkan diri, matanya nyaris mencelos dari cangkang.

“Pikirlah lagi Biru, kau itu sudah terkenal disini! harga dirimu sebagai penari ronggeng lelaki tersohor akan lenyap kalau kau jadi ajudan.” Lelaki tua itu bersandar pada kusen lapuk kamar Biru, garis wajahnya semrawut.

“Harga diri saya sudah hilang sejak Bapak menyerahkan saya pada orang-orang gila itu. Sudah habis, kebaikan yang tersisa di diri saya sudah tandas sejak hari itu. Bapak tak perlu lah membahas soal harga diri.” Biru terdengar tenang, ia duduk di hadapan tualet kaca sembari menyisir rambutnya yang harum mentega muru-muru beradu kembang mawar.

“Kalau kau lepaskan kita akan kehilangan kehormatan sebagai keluarga ronggeng paling laris, kita kehilangan segalanya!”

“Bapak yang kehilangan segalanya.”

“Biru!”

Telaga Biru tersenyum pada pantulan diri dalam cermin sambil meneleng ke kanan kiri tanpa terganggu barang setitik.

“Aku sudah tidak punya kehormatan sejak lama, berhenti bicara soal kehormatan yang tidak ada wujudnya sama sekali. Hal-hal yang Bapak hapus cuma-cuma dari hidupku. Kehormatan yang Bapak sebut-sebut akan aku rebut kembali setelah ini, aku akan tetap pergi.”

“Anak anjing kau!”

“Berarti kau anjing?”

Pati Anom bertalah-talah melesakkan jemari pada kenaan Biru bagian belakang hingga anaknya tercekik, Sri yang sejak tadi diam menguping pun terlonjak.

“Bapak!” ᅠ ᅠᅠ ᅠ

━━━━━━━

ᅠᅠ ᅠ Putaran roda sedan terhenti tepat pada samping balé panggung di tepi kebun, selain kaya akan sawah padi dan kolam-kolam ikan nila──petani Bagja Alit sedang subur-suburnya panen keciwis, kailan dan kacang panjang.

Dari pintu samping kursi kemudi seorang bujang gagah berkacamata hitam turun, merapikan kenaannya yang necis dengan tangan kanan musabab sisi kiri penuh menenteng koper hitam mewah berhias besi berkilau-kilauan.

Kehadiran orang itu sontak membungkam mulut kecil anak-anak yang sejak tadi gegak melaungkan aksara dipimpin oleh laki-laki bercelana ngatung dan kemeja kebesaran, rambutnya baru saja dikeramas, lembut tertiup angin.

Telaga Biru menyipit, ia gagap mengetahui mobil siapa yang baru saja berhenti. menginterupsi fase calistung di bawah pimpinannya.

BANYU SOEROSO DATANG LAGI.

Kali ini Biru sedikit susah menelan ludah lepas disuguhi penampilan Banyu yang lebih sederhana, ternyata kebiasa-biasaan saja itu membuat ia lebih berkarisma. Senyum yang mempertontonkan deretan gigi rapi milik sang Soeroso muda buat takjub. Tubuhnya besar dan liat, kalaulah nama Gatotkaca harum sebagai otot kawat tulang besi, maka (walau tak terlalu tinggi) Banyu lebih kuat dari itu.

“Biru, boleh bicara sebentar?” katanya, dengan sebelah telapak tangan melekat di ambang perut dan dada. Kalimat yang mengalihkan atensi para anak petani mujur sebab bisa belajar ilmu dasar cuma-cuma dari laki-laki yang sebenarnya juga tak pintar-pintar amat.

BANYU BIRU.Where stories live. Discover now