LAYUNG, 1985.

48 9 0
                                    

Matahari perlahan naik dengan semburan panas seperti marahnya orang yang tengah terluka, bak risau manusia dalam bimbang tak kenal ujung, bagai hari lahir sebuah tanda tanya di atas kepala para dewa.

Celah talapak tangan Banyu Soeroso hari itu penuh diisi jari jemari lentik milik perempuan separuh Belanda yang belum lama tiba. Mereka bergandeng mengitar gedung gubahan teater film Varia, Elita, dan Oriental di era Londo yang kini berganti jadi Palaguna Nusantara. Pusat belanja tersohor di Utara Alun-alun Bandung, dijenamai oleh penyair dan budayawan sunda Wahyu Wibisana. Mulanya tempat nyondong itu disematkan nama Paraguna yang miliki makna Ahli Kawih¹, bisa pula diartikan sebagai Sarwaguna². Namun, saat peresmian yang juga dihadiri Gatot Soeroso──Gubernur Aang Kunaefi tak fasih melafal R hingga bergantilah menjadi Palaguna.

“Waar wil je hierna heen, Anneke?” (Kamu ingin kemana lagi setelah ini, Anneke?)

Dalam sebangun rasa hambar yang terusap di garis wajah tegas Banyu, lelaki itu masih begitu lampas melangitkan tanya pada perempuan pilihan ayahnya. Unggah-ungguh yang ia suguh begitu apik, mengalahkan apiknya perasaan yang berbulan-bulan ia suburkan.

Banyu selalu ingat apa kata mendiang sang ibu sebelum membumi; muliakan perempuan apapun derajatnya, seberapa malasnya kau, pula sekuat apapun kau tak mencintainya. Bagaimanapun, seterhormat apapun; laki-laki lahir dari rahim seorang perempuan.

Maka walau belum menaruh hati pada Anneke, ia punya tanggung jawab besar untuk memperlakukan anak perempuan yang sudah begitu dibahagiakan oleh ayah dan ibunya dengan elok.

“Ik weet het niet, maar ik wil snel naar huis want ik heb iets met je te bespreken, een belangrijke zaak.” (Saya tidak tahu, tapi kalau boleh ingin segera pulang karena saya punya sesuatu untuk disampaikan, sebuah hal penting.)

Anneke menoleh, menghentikan langkah mereka di tengah kerumunan muda-mudi yang hendak naik ke bioskop Nusantara, mengantre di kedai ayam cepat saji, pula berduyun-duyun menuju Matahari. Banyu melaku angguk, kemudian mengayun genggam mereka ke sisi kanan pintu utama menuju sedan serupa dengan yang ia bawa ke Bagja Alit.

Nona Van der Linden duduk di sisi kiri, sedangkan Banyu mengisi ruang kemudi. Keduanya bergeming dalam kecanggungan tak bertepi sebelum sang lelaki mencoba peruntungannya melarutkan situasi.

“Bagaimana filmnya tadi, Anneke?”

“Saya lebih suka novelnya, Banyu. Tapi Paramitha Rusady dan Rano Karno sangat bagus memerankan tokoh Bugi dan Zein. En jij?” (Dan kau?)

“Cukup bagus, saya belum membaca novelnya jadi tidak ada yang bisa saya bandingkan. Filmnya bagus.”

Mereka kembali sunyi, Banyu seperti menunggu sesuatu sampai tak grasa-grusu melajukan mobilnya.

“Ann.”

“Ya?”

“Saya rasa ini tempat yang tepat untuk kita bicara, apa yang ingin kau sampaikan?”

Anneke terlihat gelisah, perempuan bergaun selutut dengan rona putih tulang itu bahkan tak berani menatap Banyu. Beruntung yang bertanya terlihat amat tenang tanpa memaksa. Sang Soeroso muda dapat mudah menebak kalau kalimat-kalimat di tenggorok tunangannya bukan sekadar berita biasa, lebih besar dari badai buncah yang menghalau perjalanannya dari Sumba.

“Banyu, walau jarang bertemu ... kita sudah hampir satu tahun bersama, betul?” katanya pelan, dengan Bahasa Indonesia yang cukup fasih.

“Iya, lalu?”

“Saya bisa merasakan betapa kamu tersiksa harus belajar mencintai saya.”

Banyu menghela nafas, begitu mafhum kalau perkara ini tak akan mungkin bisa diabukan. Tapi bila boleh jujur, Banyu juga selalu yakin kalau Anneke sama sakitnya.

BANYU BIRU.Where stories live. Discover now