MULIH, 1985.

80 10 0
                                    

Ada langit yang patah hati di Panyutran, semburat rona oranye selaras persik dan pepaya waimanalo itu menyala begitu pilu, menerbangkan melodi-melodi waditra dari kaset tape bertuliskan GOLEWANG lengkap dengan nama Raspi yang ditoreh di atas kertas berselotip, oleh pensil murah nyaris pudar.

Ini bukan lagi Bandung yang babak belur, bukan pula Bagja Alit dengan seribu satu geliat pahit. Ini Panyutran yang harum terumbu karang, dan semerbak amis ikan cakalang──Padaherang, Pangandaran.

Telaga Biru kembali pada fitrahnya sebagai seorang ronggeng, tubuh molek lelaki itu kini dibalut kebaya encim dengan warna yang memiliki emosi paling unggul; Merah perlambang cinta, kemarahan, dan gairah. Disempurnakan oleh cupat manggu menghimpun kedua kaki jenjang yang selama ini telah dipaksa kuat digerus badai-badai mencerai berai.

Ia duduk di kursi rotan menghadap kaca, di depannya tergelar kotak-kotak berisi pelbagai macam alat bersolek hasil menabung, beberapa dibeli dengan uang gaji saat masih mengabdi di Soeroso, namun tak pernah lagi ia gunakan sebab selalu saja membawa pulang teriakan Gatot yang memaki-maki, berteriak, dan menyumpah serapahi ketidak-elokan permintaan Banyu untuk selesai dengan Anneke, lantas malah mengasingkan sang Soeroso muda ke Amsterdam tanpa memberi secuil kesempatan untuk mengucap selamat tinggal.

Biru meraih benda pipih persegi, membuka tutupnya hingga bulatan palet nyala-menyala memberi sapa. Sebatang kuas tipis di ujung ia raih sengaja, mengusak kuning muda kemudian diulas pada kelopak mata. Ia berlenggok, mata lentik itu kini lebih hidup dan bernyawa seperti kilat sepotong matahari di atas secangkir teh roséla.

Ia menaruhnya lagi, lantas menukar dengan si bundar pemerah pipi. Lelaki itu menggigit sisi mulut dalam bagian kanan dan kiri sebelum mengusapnya di tulang, meronakan wajah pucat penuh kehampaan.

Lepas itu, Biru mengambil gincu bercangkang hijau terang, berisi batang jerau penuh magis sebab bisa mendadak merah saat dipoles di bibirnya yang ranum. Melengkapi kebiasan paling utama, menyalakan padam di redup yang dibiarkan mati cukup lama.

     Kembang siang di mara désa,    
     Kembang malati di jambe,

Dua iris pertama bait tembang Golewang mulai memenuhi rumah kontrakan sang Telaga, sepetak lapuk dengan tiga ruang sekat minim barang-barang, bermodal lampu murah dan cempor bau minyak tanah.

    Ari palay mah gera weya,
    Bisi kapiran di kuring.

Biru melangkah ke sudut, membuka lemari kayu untuk mengambil sampur kuning pelengkap penampilan, namun ia dikejutkan oleh sebuah lipatan kertas gugur dari selendang yang telah lama tak ia pakai namun sempat turut meramaikan sakit hatinya di Bandung.

Dahinya mengerut, dengan begitu tangkas dan penasaran ia duduk di tepi ranjang untuk menenggelamkan diri di dalam surat yang entah dari siapa itu.

     Wisanggeni pernah mencintai Dewi Mustikawati sebegitu hebat, ia tak pernah keberatan untuk bersaing dengan lelaki lain yang juga ingin memperistri Sang Dewi, bahkan dengan sepenuh hati menyanggupi sayembara Cupu Manik Gambar Jagad sebagai persembahan.

     Wisanggeni begitu terburu mengadu pada Ayahnya, Arjuna. Ia ingin sekali dibantu agar sampai cintanya pada Mustikawati. Sayang seribu sayang, Arjuna tidak memberi restu.

Dadanya mencelos, kawih ronggeng yang tengah ia dengarkan seperti menyatu dengan kisah wayang pada surat dalam genggaman.

     Namun cinta Wisanggeni terlalu besar untuk kalah pada sang Ayah. Dengan bantuan Prabu Kresna, ia berhasil mendapatkan Cupu Manik Gambar Jagad dan menikahi Dewi Mustikawati.

     Ini bukan dongeng anak durhaka, ini seberkas bukti kalau Tuhan selalu memberikan jalan untuk dua manusia yang saling mencintai.

      Kau tidak jatuh hati sendirian, Biru.

      Banyu akan sekeras Wisanggeni untuk pulang padamu.

     Banyu mencintai kamu lebih dari Rahwana yang memperjuangkan Shinta, dari Petruk yang rela dihajar Kurawa untuk Dewi Prantawati, bahkan dari Ekalaya yang rela mati demi Dewi Anggraini.

     Cinta kadang perlu sedikit waktu, saya harap kamu bersedia menunggu.

     ANNEKE VAN DER LINDEN.

Tangis lelaki itu hambur, tak sampai sepuluh menit riasan wajah yang ia tata apik melebur. Sudut pikir Biru bukan lagi tentang bagaimana Anneke bisa menyisip kepercaya-diriannya diam-diam, dan dapat pula sebegitu tabah tur baik hatinya perempuan Belanda itu melepas Banyu untuk kembali pada 'rumahnya' yang sempat hilang.

Ia terhuyung, lututnya mengecup lantai batu alam dengan sujud sarat tanda tanya. Ini sudah setengah tahun sejak perpisahannya dengan Banyu, namun isi surat Anneke memecutnya kembali ke ambang sadar kalau ia belum benar-benar melupakan Banyu Soeroso. Ia masih begitu cinta, lebih lagi saat mengetahui kalau perasaannya tidak sendiri.

      “Kenapa begitu terlambat menemukan ini?”

      “Kamu tidak terlambat.”

Biru bergeming, pintu pun terbuka.

Celahnya yang hanya sejengkal menampilkan sosok Banyu Soeroso, pakaiannya sama dengan kenaan saat pertama kali ia menemukan Biru di keramaian Bagja Alit.

Tatap basah Banyu Biru bersinggung, keduanya dikembalikan pada petak-petak masa lalu dengan kondisi begitu kembar; ranjang besi, kebaya, dan tangis yang berhamburan.

Tanpa melepas sepatu, pula tanpa mempersilakan nafasnya teratur melaju──kedua lelaki itu memangkas jarak lantas ambruk dalam pelukan amat panjang.

Banyu membenamkan wajahnya pada ceruk leher Sang Telaga, menghirup aroma yang sejak awal memperbudaknya untuk lesap di badai candu, merasakan betapa tak ada yang lebih menyiksa daripada perpisahan tanpa sempat mengumbar perasaan.

“Saya rindu kamu,” katanya lirih, bibir tipis Soeroso muda meninggalkan banyak jejak kerinduan di setiap inci leher Biru.

“Aku lebih dari itu.”

     Haliwir mah bau malati
     Bau daréngdéng sapasang
     Haliwir mah bau lalaki     
     Bau séndéng kakara datang.   
   
     Golewang, terdengar lagi.

“Saya pulang.”

“Aku bahagia menyambut kedatanganmu. Jangan pergi lagi, senyatanya tidak ada yang lebih aku inginkan selain kamu.”

“Kamu rumah saya, tanpa diminta pun saya akan selalu kembali ke kamu. Saya mencintai kamu, secinta-cintanya. Kalimat yang selama ini belum sempat saya sampaikan, setelah ini akan saya ucap sehari sekali supaya kamu tidak lupa. Saya mencintai kamu.”

“Anneke benar, kamu lebih dari Wisanggeni.”

Pelukan mereka melonggar, lantas Banyu Biru menatap sesama penuh gelora, dan cinta mempertemukan keduanya pada sebuah ciuman pertama. Lembut, syahdu.

Banyu dapat merasakan betapa senarai manis kembang asoka hadir di basahnya bibir bawah Biru, ia melumatnya sayang, merasakan betapa lidah lelaki itu lebih menggairahkan dari apapun di bumi ini.

Sementara itu Biru menekan tengkuk lelakinya pelan, memperdalam ciuman dan bersuka cita menikmati hangatnya jumpa atas penantian yang mahal harganya.

Aku pernah mati, lalu hidup kembali karenamu. Aku mati sekali lagi, lalu akan hidup selamanya bersamamu.

BANYU BIRU, 1985. RESMI SELESAI.

BANYU BIRU.Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz