8. Sorry 🥂

757 64 5
                                    

Jero berjalan dengan wajah angkuh memasuki sebuah restoran bergaya French yang masih berada dalam satu gedung dengan penthouse pria itu. Tempatnya terlihat sangat luxury sehingga membuat Gween yang hanya memakai gaun lusuh miliknya merasa seperti upik abu yang mengekor di belakang majikannya.

Sungguh sesuatu yang sangat wanita itu sesali. Ia melupakan siapa seorang Jero Axford dan perbedaan kelas mereka di mana pria itu tidak akan mungkin makan di tempat sembarangan seperti Gween. Padahal wanita itu pikir mereka hanya makan di restoran cepat saji yang mana tempat itu masih sangat pantas untuk ia datangi.

"Duduklah," titah Jero karena Gween masih saja berdiri padahal Jero sudah menemukan meja yang kosong untuk mereka tempati.

Wanita tersenyum kikuk sebelum duduk dengan perlahan. Bertepatan dengan itu terdengar dering ponsel Jero dan pria itu pun berjalan sedikit menjauh untuk mengangkat panggilan itu.

Pelayan datang dan memberikan buku menu pada Gween yang langsung merasa pusing melihat nama-nama makanan di sana apalagi dengan harga yang tertera. Gween rasa, gajinya satu bulan hanya cukup untuk satu kali makan di restoran ini.

"Hmm ... Griled chicken Caesar, dan ...."

"Maaf, Nona. Apakah anda baru pertama kali ke sini?" Pelayan dengan name tag Salia itu bertanya dengan nada yang cukup tak mengenakan bagi Gween. Tapi wanita itu tak mempermasalahkannya karena bahasa yang digunakan pelayan tersebut masih sangat sopan sehingga ia tetap menjawab meski hanya dengan anggukan.

"Saya beritahukan terlebih dahulu sebelum anda memesan agar anda bisa menyiapkan uang anda dan tidak membuat alasan seperti dompet ketinggalan setelah mendapat bill."

"Maksud anda?" Gween menyipitkan mata dan merasa pelayan itu semakin berani merendahkannya.

Salia memutar bola mata malas. "Saya sudah muak menghadapi pengemis seperti anda," gerutunya sinis.

"Siapa yang kamu sebut pengemis?" Suara dingin Jero terdengar dan seolah menguar dan mampu membekukan suasana hingga terasa begitu hening.

"Siapa yang kamu sebut pengemis?!" ulang pria itu yang kali ini dengan intonasi lebih keras.

"Ma ... maaf, Pak Jero, kalau ucapan saya mengganggu Anda. Tapi ini untuk perempuan gembel itu yang --"

"Gembel?" tukas Jero kilat. "Dia datang bersama saya!" desis pria itu yang mampu membuat Salia terkejut sekita.

Kekacauan itu mengundang perhatian banyak orang sehingga manager segera turun tangan untuk mengurusnya sebelum hal ini viral dan membuat nama resto mereka jelek di mata umum.

"Bapak Jero Axford, maafkan sikap pelayan kami, dan sebagai kompensasinya kamu akan memberikan pelayanan VIP gratis untuk anda selama satu Minggu," ujar pria itu dengan badan sedikit membungkuk.

Jelas saja, siapa yang tak mengenal Jero Axford? Si raja tender yang selalu berhasil memikat para investor dengan kecerdasan dan kesuksesannya di usia muda.

Mereka tidak akan mungkin mengecewakan pria itu yang bahkan memiliki saham di gedung yang mereka sewa ini.

"Tidak perlu. Cukup pecat dia," ujar Jero datar sebelum menarik Gween untuk mengikutinya.

Salia tak berani berkutik dan hanya mampu menundukkan kepala sambil mengrapalkan doa semoga sang manager tidak mengabulkan permintaan Jero.

"Salia, kemasi barangmu sekarang juga dan temui saya," titah sang manager tajam. Yah, tamat lah sudah riwayat wanita itu.

Sementara itu, Gween sudah tidak mood lagi dan meminta Jero untuk makan di luar sendiri karena dia lebih memilih untuk kembali ke kamar dan tidur.

"Kita bisa makan di tempat lain," ucap Jero tak setuju.

"Jero ... please! Kamu ngerti nggak sih masalahnya apa?" Gween menyela dengan lelah. Pria keras kepala itu mana tahu rasanya betapa memalukannya direndahkan di depan umum.

"Okay, fine."

Mereka kembali dan Gween langsung berjalan menuju kamar yang di tempatinya tanpa berkata apa-apa lagi.

Niat hati wanita itu hanya tidur karena jujur saja rasa laparnya sudah menguap begitu saja. Namun belum sempat wanita itu memejamkan mata, pintu kamarnya sudah diketuk dengan tak sabaran.

Gween menghembuskan napas panjang dan berusaha untuk menggali sedikit lagi rasa sabarnya dalam menghadapi pria itu.

"Ada apa?" tanyanya datar.

"Makan," jawab pria itu tak kalah datar.

"Aku sudah ---"

"Makan omongan pelayan murahan itu tak akan membuat perutmu kenyang," sela Jero sembari menyambar lengan wanita itu dan menyeretnya menuju dining room.

Ternyata di sana sudah tersedia berbagai macam makanan yang hampir memenuhi seisi meja.

"Siapa yang akan memakan sebanyak ini?" tanya Gween heran.

"Kamu," sahut Jero enteng.

Gween menarik napas panjang sembari memejamkan mata. "Aku tidak serakus yang kamu kira, dan apa kamu juga berpikir layaknya pelayan tadi yang --"

"Stop it!" pangkas Jero. "Jika kamu merasa terganggu dengan omongan pelayan itu, just forget it!"

"Just forget it?" Gween membeo dengan dengkusan sinis. "Kamu memang tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya direndahkan di tempat umum dan kamu tidak bisa untuk membela dirimu sendiri."

"I know!"

"Tidak! Kamu tidak akan tahu. Anak yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya tidak akan tahu rasanya, Tuan Jero Axford!"

"Aku dilahirkan dari rahim seorang wanita yang sampai saat ini selalu disebut sebagai pelakor. Aku dibuang ke negeri antah berantah karena dianggap akan mempermalukan keluarga. Aku dijemput kembali saat mereka sangat membutuhkan ku sebagai pewaris keluarga, hanya sebagai pewaris bukan cucu mereka."

Gween meremas ujung jarinya dan menunduk pelan. "Sorry," gumamnya.

Sungguh, ia tak tahu latar belakang seorang Jero Axford yang menurut pandangan matanya memiliki kehidupan yang serba sempurna.

"Makan lah," ujar pria itu yang Gween tahu tak suka membahas tentang masalah keluarganya.

Bahkan Jero sendiri saja heran dengan dirinya yang malah menceritakan kelemahannya pada wanita itu padahal selama ini dirinya tak pernah sudi dianggap rendah oleh orang lain sehingga dirinya tak pernah menceritakan masa lalunya kepada siapapun.

Mereka makan dalam diam hingga masing-masing piring di hadapan mereka sudah kosong. Jero lebih dulu pergi dan menghilang di balik pintu ruang kerjanya. Gween yang masih merasa bersalah berinisiatif membuatkan secangkir kopi untuk pria itu setelah dirinya membersihkan peralatan makan mereka tadi.

Jujur saja wanita itu merasa sungkan untuk masuk ke ruang kerja Jero sehingga dirinya memilih untuk mengirim pesan untuk memberitahu pria itu.

Namun hingga pukul dua belas malam, pesan Gween tak kunjung dibaca oleh Jero sehingga mau tak mau wanita itu memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruang kerja Jero setelah ia membuat uang kopi yang sudah mendingin.

Gween masuk perlahan meski tanpa izin karena pria itu yang tak kunjung menjawab panggilan.

Jero tampak memejamkan mata dan bersandar di kursi kebesarannya.

"Maaf lancang, aku hanya ingin mengantar secangkir kopi --- Astaga! Pak Jero!"

Gween spontan berlari ke arah pria itu yang hampir terjatuh dari kursinya dan terlihat sangat lemah sekali.

To be continued

I Order YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang