18. I'll be your home

207 23 10
                                    

"Katanya, setiap luka pasti ada obatnya."

Menghentikan kegiatannya mencabuti rumput yang mulai meninggi, suara yang berhasil membawanya ke tempat ini kembali menyeruak kurang ajar. Ucapan Aldevaro seolah membawanya untuk kembali ke rasa sakit yang luar biasa sakit.

Katanya.

Mau sebanyak apapun obat yang ditenggak dalam satu malam, kalau sakitnya terlalu fatal, tangis adalah bius. Dia akan bekerja sebentar sampai waktunya sudah berhenti untuk memberikan efek tenang, rasa sakit itu akan kembali menggerogoti seluruh tubuhnya dengan rasa sakit sayatan tak berujung.

Satu-satunya yang bisa membuat semuanya terasa baik-baik saja adalah kembali, pulang.

Seperti di hadapannya saat ini. Arunika tidak akan menyangka, Tuhan mengerti maksud dari doanya selama ini. Bukan kutukan kematian yang selalu dia panjatkan setiap saat, Arunika hanya berharap, masih ada yang jauh lebih sayang kepada Geovano dari dirinya. Ternyata benar, Tuhan mengambil adiknya, menghilangkan rasa sakit dan pahitnya obat yang harus diminum pagi-siang-malam. Hal ini membuat Arunika sedikit meruntuhkan egonya, bahwa Tuhan itu adil.

"Untuk hati, obatnya apa?"

Kedua kalinya suara Aldevaro hanya menjadi angin lalu untuk Arunika. Bukan dia tidak mau menjawab, hanya saja, dia tidak tahu harus menjawab apa.

Aldevaro menarik tangan Arunika. Membersihkan tangan itu dengan mengelakkan ke atas celananya. Dia melirik nisan Geovano, lalu tersenyum tipis. Lihat? Gue memperlakukan kakak lo kayak kaca tipis yang gampang retak.

Arunika diam saja.

"Katanya juga, setiap hati yang luka, kita nggak harus nyari obat, tapi harus bisa buat luka itu nggak terasa."

Kali ini, Arunika menatap Aldevaro. Cowok itu mengusap kepala Arunika sambil tertawa pelan. Matanya menatap lurus ke arah makam Geovano. "Obat itu pahit, nggak minum obat, hidup kita yang bakal pahit. Tapi."

Geovano beralih menatap Arunika. Sepasang nayanika yang menusuk seolah meminta penjelasan padanya. Tajamnya setiap kali gadis itu berkedip dan melirik ke sembarang arah membuat Aldevaro bertanya, "Sebenarnya, seberapa besar luka yang Arunika tanam? Membuat gadis ini terlihat begitu rapuh bagai kerupuk di warung nasi."

"Semuanya nggak akan sakit, nggak akan perlu obat kalau kita nggak bawa rasa sakit itu semakin dalam. Banyak yang bilang, sakit itu bakal hilang kalau ketemu obat yang cocok. Tapi, pernah nggak sih lo mikir, kenapa nggak kita aja yang ngehindar dari sakit itu sendiri?"

"Caranya?"

"Berhenti berharap."

Arunika terdiam. Apa yang selama ini dia harapkan sampai dirinya kehilangan jati diri? Harapan apa yang selama ini membuatnya kehilangan sebagian kewarasannya? Sebenarnya, ada apa dengan dirinya?

"Banyak orang patah hati karena harapan, ekspetasi di luar nalar. Kadang lucu, tapi... Namanya juga hidup. Kalau bukan kita sendiri yang peduli, siapa lagi?"

Benar. Ucapan Aldevaro tidak ada yang salah. Selagi masih bernapas, di situ juga udara penuh permasalahan akan masuk ke relung tubuh, membawa kewarasannya untuk terus hidup. Setidaknya, untuk bisa duduk bedua dengan Aldevaro di samping makan adiknya, Arunika bisa mendapatkan udara positif.

"Terus, gunanya hidup kalau nggak ada harapan buat apa hidup? Aneh lo."

"Setiap luka ada obatnya. Lo lupa kalau kita bahas tentang perasaan?!" Kenapa sih setiap bicara dengan Arunika selalu berujung emosi seperti ini. Aldevaro berdecak saat gadis di sebelahnya terkekeh culas. "Kalau lo punya harapan buat hidup, itu beda lagi. Lo bernapas aja itu udah harapan. Ah! Males gue ngomong sama lo."

Bad Person Where stories live. Discover now