Minggu Pagi

38 3 0
                                    

Spam coment, yuk.

Ada yang lebih dingin dari cuaca Bandung di jam sembilan pagi hari minggu itu yaitu atmosfer kelima remaja yang kini tengah berdiri di  depan sebuah bangunan agak tua. Menunggu Pak Tian yang ternyata sangat terlambat kedatangannya dari jam ditentukan.

Senja menjadi orang pertama yang tidak bisa lebih lama lagi menahan decakan kesalnya. Dia tilik lagi jam di tangan kiri. Sudah jam sembilan lebih lima belas menit. Itu artinya Pak Tian sudah terlambat lebih dari setengah jam.

"Gimana, sih, katanya nggak boleh terlambat? Taunya dia sendiri yang terlambat," gerutu Senja yang kemudian berjongkok di samping koper miliknya. Melepas topi hitam hanya untuk mengacak-acak rambut saking frustrasinya.

Mengabaikan Senja yang mencak-mencak, Elang lebih tertarik memperhatikan bangunan yang akan menjadi tempat tinggalnya. Sepengetahuan Elang, bangunan cukup luas itu sengaja dibuat untuk dijadikan tempat ekskul-ekskul sekolah untuk menginap setiap ada kegiatan. Kamp pelatihan futsal sekota Bandung yang dilangsungkan tahun lalu, misalnya. Belum lagi pelantikan-pelantikan Pramuka, PMR dan Paskibra. Sebelum akhirnya tempat itu tak terpakai sebab pihak sekolah mendirikan lagi bangunan baru yang lebih layak di bagian timur Sekolah.

"Kalian tau nggak, rumor yang banyak orang bilang kalo asrama ini angker?" Elang menjadi orang pertama membuka obrolan kelima remaja yang semula sibuk masing-masing. Ikut berjongkok di samping Senja.

"Bukannya nggak aneh, yah, setiap sekolah itu angker?" Jaery menimpali.

"Lo percaya?"

Kepala lelaki remaja itu mengangguk. "Percaya. Soalnya gue pernah sekali liat sosok hitam tinggi muncul di jendela itu waktu pacaran pas pulang sekolah," ujarnya seraya mengedikan dagu pada jendela asrama yang sudah nampak buram.

Mars mendengkus geli. "Makanya pulang sekolah itu pulang, bukan malah pacaran di tempat sepi. Ngapain, sih? Mau bikin anak haram?"

Bak setitik api yang disiram bensin, celetukan Mars dengan maksud bercanda itu ternyata menyinggung perasaan Julli. Remaja dengan kaus merah itu lantas menarik kerah kemeja Mars tanpa tendeng aling-aling. Jelas saja membuat keempat remaja di sana ikut terkejut. Elang dan Senja bahkan sampai berdiri, terheran-heran pada emosi Julli yang mudah sekali tersulut.

"Heh, lo kenapa, sih? Kesurupan?" Itu suara Jaery yang menghentak kasar cengkraman tangan Julli pada kerah kemeja Mars, lalu buru-buru berdiri di tengah-tengah dua remaja yang kini sama-sama sedang saling menghunus tatapan tajam.

"Nggak ada angin, nggak ada ujan, tiba-tiba ngamok aja," tukas Elang, masih seheran tadi. "Lo lagi nggak mabok lem, kan?"

Tepat saat Elang menyelesaikan kalimatnya, Senja menyikut tepat di perut. Dengan lirikan yang seakan-akan mengatakan jangan memperkeruh keadaan. Sebab, jujur saja di antara orang-orang yang dipilih Pak Tian untuk tinggal bersama, Senja merasa paling tidak nyaman dengan kehadiran Julli. Senja bahkan berani bertaruh, kalau dia tidak akan pernah bisa akrab dengan Julli.

"Lo nggak jelas banget."  Itu suara Mars  yang baru saja merotasikan kedua matanya jengah, menyudahi tatapan tajamnya pada si lawan. Lebih memilih mengalah daripada harus capek meladeni manusia tak berotak seperti Julli.

Mood kelima remaja di sana sama buruknya. Tapi Julli seakan-akan hadir hanya untuk membuat keadaan menjadi semakin kacau saja. Sebab, saat Mars sudah memilih mengalah, Julli justru maju, hendak menyerang Mars. Untung saja Jaery masih kokoh menjadi tameng keduanya. Jadi, sebelum terjadi perkelahian, dia lebih dulu mendorong Julli untuk menjauh.

"Lo kenapa, sih! Gue tau lo benci banget sama si Mars. Tapi liat situasi, lah, Nyet. Jangan nambah-nambahin beban hidup gue. Lo sadar nggak, lo itu peran utama yang buat kita berakhir di sini!" Sudah kesal karena tidak bisa menikmati hari minggu setenang biasanya, kesal karena terlalu lama menunggu kedatangan Pak Tian. Ditambah lagi tingkah si Julli yang seperti mengompori tingkat kesabarannya yang sudah sependek ujung sumbu.

Keadaan berbalik. Jaery yang semula berada di tengah-tengah menjadi pihak pelerai, kini giliran Mars yang dengan cepat mengambil alih peran itu. Sebab kepal tangan Julli sudah berada di udara tepat saat Jaery selesai berteriak marah. Agaknya Jully tidak terima disalahkan.

Pada dasarnya Jully bukan seseorang yang mudah ditenangkan. Meskipun  kepalan tangannya sudah ditahan Mars, remaja itu tetap saja berontak menyerang. Membuat Jaery yang sudah kepalang kesal, maju memberi perlawanan.

Tersentak oleh perkelahian yang terlalu tiba-tiba, Senja dan Elang kompak menarik Jaery menjauh kendati sedikit terlambat. Karena, pukulan Jaery sudah lebih dulu mengenai rahang kiri Jully.

"Udah woy, berhenti!"

Percuma. Yang dilerai seakan menuli. Mars kelimpungan menahan pergerakan Julli, begitu juga Elang dan senja yang kewalahan menjauhkan Jaery. Tidak disangka-sangka tenaga cowok berkemeja hitam itu kalau sudah marah cukup merepotkan juga.

Sampai di titik paling menegangkan, Pak Tian datang bersama Choky. Cowok dengan penampilan bak brand ambassador dior itu menyeret koper ogah-ogahan.

"Wah, sambutan meriah, anak-anak. Terima kasih," sindir Pak Tian seraya bertepuk tangan heboh. Membuat Jaery  maupun Julli yang sudah berantakan seperti memiliki tombol pause, kontan terdiam.

"Saya udah coba buat melerai mereka, Pak. Tapi merekanya aja nggak mau dengar." Suara Mars menyerbu, menjelaskan situasi yang terjadi. Dia jelas tidak mau mendapat konsekuensi yang mempengaruhi citra buruk dirinya sebagai kebanggan sekolah.

"Caper," bisik Elang pada cowok yang baru saja merotasikan kedua matanya jengah pada sikap si paling teladan itu.

Mereka kira suara berat Pak Tian akan terdengar  menakutkan. Tapi ternyata guru kesiswaan itu malah nyengir lebar sembari menukas. "Nggak apa-apa. Sekarang kita masuk dulu. Kalian pasti dari tadi udah nunggu Bapak. Maaf, yah, terlambat. Soalnya  Bapak ngebujuk dulu anak kucing yang terus merajuk." Di kalimat terakhirnya, Pak Tian melirik Choky.

Kala Elang berdecih geli karena mengerti sindiran Pak Tian itu tertuju pada siapa, perasaan Senja justru semakin tidak enak. Dia lantas menduga-duga, konsekuensi apa yang akan mereka tanggung setelah perkelahian Jaery dan Jully. Sebab baginya, senyum Pak Tian itu menyimpan arti.

Begitu pintu asrama dibuka, hal yang pertama menyambut adalah debu-debu tanda dari terbengkalainya tempat itu. Choky langsung bersin dua kali lalu menggosok hidungnya yang diserang gatal. Dia meringis jijik.

"Ayo masuk," ajak Pak Tian. Mendahului langkah. "Taro koper kalian di sini," sambungnya seraya menunjuk tempat di sudut ruangan.

Sampai koper-koper itu berjajar rapi, Pak Tian sedikit menyunggingkan bibir ketika mendapati Choky tengah memandang serangga kecil yang terperangkap pada sarang laba-laba.

Menepuk tangan dua kali hanya untuk mendapat perhatian, Pak Tian kemudian berujar, "Sebetulnya tempat ini belum terlalu lama kosong, tapi karena tidak terlalu diperhatikan, jadi sedikit kotor saja."

"Bukan sedikit kotor. Tapi kotor banget," ujar Elang dengan sepasang mata mengindai sekitar.

"Maka dari itu harus dibersihkan dulu."

Sontak mengundang keenam anak yang tidak saling dekat itu menghela napas kompak. Membuat Pak Tian tidak bisa untuk tidak tertawa. "Sebelum membersihkan tempat ini, Bapak punya sesuatu untuk kalian." Menepuk bahu Mars sekali sebelum akhirnya beliau membuka tas punggungnya hanya untuk mengeluarkan tiga utas tali kain webbing yang masing-masing memiliki panjang satu meter.

"Itu untuk apa, Pak?"

"Untuk mengikat kalian."

"Hah?!"

-Next or No?

Cerita Dari Kita |NCT DreamWhere stories live. Discover now