16. Can I?

21 3 1
                                    

Hal pertama yang dilihat ketika memasuki ruangan Jeff adalah Lala yang tertidur lelap di sofa dengan posisi menyamping. Bajunya masih sama seperti yang kemarin ia kenakan. Gurat wajahnya tampak lelah ketika Savero amati lebih dekat.

Ia menoleh pada Jeff, Ansell, dan Neo yang kondisinya tak jauh beda. Hanya ada mereka berempat di sana. Tiga orang laki-laki itu masih terjaga sambil mengamati sebuah layar proyektor yang menyala.

"Kalian cuma berempat?" Savero mengambil beberapa langkah kemudian duduk di kursi kosong sebelah Neo.

Neo yang tadinya fokus pada kertas-kertas yang ia pegang lantas menoleh sesaat menatap Savero. "Tadi banyak orang, kok. Cuma pada keluar. Ada yang cari sarapan, pulang ganti baju, ada juga yang cari angin bentar."

"Lo ngapain di sini? Nyari Lala?" Jeff memastikan.

"Iya. Nyokap nyariin. Khawatir karena semalaman gak pulang dan di telpon gak diangkat."

"Lembur," sahut Neo singkat. "Kalau mau perang gini emang biasanya lembur sampe beberapa hari. Jadi gak usah kaget."

"Tapi Lala gak apa-apa? Kayak capek gitu."

"Gak apa-apa, sih. Cuma mimisan doang. Tadi habis sarapan udah minum vitamin terus gue suruh tidur." Jeff bergabung duduk di kursi kosong ketika seorang pelayan masuk ke ruangan membawa sarapan untuk mereka.

Raut wajah Savero berubah ketika mendengar Lala sempat mimisan. Perempuan itu pasti bekerja sangat keras semalaman hingga tubuhnya kelelahan. Savero menoleh ke arah Lala dan menatapnya sedih. Sebenarnya seberapa besar luka Lala hingga berjuang sekeras ini.

"Lo khawatir sama Lala?" Ansell yang sejak tadi diam mengamati akhirnya bersuara. Ia meletakkan pekerjaannya kemudian menarik sepiring nasi goreng mendekat kemudian memakannya. "Sejujurnya gue gak terlalu yakin sama lo karena kita baru kenal. Tapi untuk kasus Lala gue cuma mau bilang kalau dia kuat. Dia gak selemah yang lo pikirin jadi percaya sama dia."

Jeff mengangguk setuju. "Nanti kalau dia capek dia bakal berhenti sendiri. Istirahat lalu lanjut kerja lagi. Lala emang kayak gitu dari dulu. Kalo gak mana mungkin dia capek-capek mau kuliah dua jurusan sekaligus. Bisnis sama seni jauh banget bedanya."

Savero diam. Sudah tidak terkejut dengan ucapan Jeff. Lala sendiri sudah pernah cerita tentang bagaimana ia menamatkan pendidikannya di Inggris dengan memegang dua gelar sekaligus. Dan bahkan itu tidak pernah diketahui oleh papanya. Savero yakin, pada saat itu Lala pasti kecewa. Semua yang ia perjuangkan sama sekali tak mendapatkan apresiasi dari orang tua kandungnya. Perempuan itu pernah berkata bahwa ia merasa dibuang dan dikhianati ketika papanya akhirnya memboyong Nadin dan mamanya ke rumah.

Savero menghela nafas panjang. Ia bimbang harus bersikap seperti apa saat ini.

"Rapat pemegang saham FL.Distribution sebentar lagi, kan? Kami lagi siap-siap perang. Gue harap lo gak ikut campur dengan berada si pihak Milo." Ansell berkata terang-terangan dengan tegas. Ia memang tidak suka basa-basi terutama jika berhubungan dengan pekerjaan.

"Gue gak akan ikut campur. Urusan kalian sama Milo gak ada hubungannya sama gue. Tapi kalo itu soal Lala, jangan ragu buat minta tolong ke gue."

Ansell, Neo, dan Jeff saling pandang lalu mengangguk tanpa suara. Mereka lanjut makan sementara Savero kembali menatapi Lala. Ia beranjak lalu berlutut di dekat Lala. Ia merapikan rambut Lala yang menutupi wajah cantik perempuan itu.

Lala agaknya terganggu dengan sentuhan Savero. Ia melenguh pelan kemudian menggeliat dan membuka matanya.

"Sav," panggilnya dengan suara agak serak.

Perempuan itu duduk sementara Savero tetap berlutut dan menatapnya sambil tersenyum.

"Iya. Gue telpon gak diangkat. Untung gue kepikiran nyariin lo ditempat Jeff. Mama nyariin. Khawatir lo kenapa-kenapa."

Another ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang