00. | prakata oleh rené hartanto

128 16 10
                                    


—cogito, ergo sum

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

—cogito, ergo sum. 


KONON KATA RENÉ Descartes, yang namanya dipinjam Papi untuk dijadikan nama depan saya, aku berpikir, maka aku ada

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

KONON KATA RENÉ Descartes, yang namanya dipinjam Papi untuk dijadikan nama depan saya, aku berpikir, maka aku ada. Cogito ergo sum. Bagi Descartes, pemikiran kita sendiri adalah bukti paling nyata kalau kita ada, lebih dari bukti-bukti konkret kayak yang diajari guru Biologi saya waktu SMP:

Saat pikiran tersebut (tuh, kan, saya berpikir!) terlintas di benak saya, saya tengah buang air besar. Waktu itu, saya tengah membaca buku Puisi Mbeling-nya Remy Sylado, meski saya sama sekali nggak fokus ke berbagai puisi aneh yang ada di tiap halamannya. Pikiran saya lari kemana-mana. Tepat sebulan yang lalu, saya ulang tahun ke-enam belas. Di usia yang sama, Alexander Agung sudah berguru ke Aristoteles dan mempersiapkan diri untuk menguasai dunia, Mozart sudah menjadi komposer ternama yang bikin banyak opera dan tur keliling Eropa, dan Pascal sudah bikin teori matematika. Nggak usah jauh-jauh, deh—anak-anak seumuran saya sudah banyak yang jadi pemain bola yang diincar klub-klub ternama atau jadi idol K-Pop yang diteriaki anak gadis di seluruh dunia cuma gara-gara mereka bernapas.

Lalu, saya bagaimana? Saat anak-anak lain seumuran saya sudah meninggalkan jejak yang signifikan di dunia ini, saya masih jadi beban orangtua. Boro-boro menguasai bumi, di sekolah saja nyaris nggak ada yang kenal saya. Boro-boro diteriaki anak gadis di seluruh dunia, terakhir kali saya naksir cewek waktu SMP, saya ditolak gara-gara gebetan saya waktu itu nggak dibolehin pacaran. (Lalu, besoknya, dia malah jadian sama cowok paling ganteng di angkatan saya. Telek memang.)

Yang membuat saya memikirkan kembali alur hidup saya selama enam belas tahun ke belakang, mempertanyakan alasan saya ada di dunia dan kenapa hingga kini saya masih menjadi manusia yang nggak relevan. Pertama-tama, mulai dari nama filsuf Prancis ternama, sang Bapak Filsafat Modern sendiri, yang namanya dipinjam Papi untuk menjadi nama saya. The man, the myth, the legend—René Descartes.

***

Saya sempat bertanya ke Papi, dulu banget waktu saya kecil, kenapa saya dikasih nama "René". Kayak nama cewek, soalnya. Waktu SMP, bahkan sampai kelas sepuluh, saya memang sempat jadi korban bully-an parah, dan meski nama saya bukan satu-satunya alasan (atau bahkan alasan terbesar), saya tetap merasa agak risih karenanya. Minggu lalu, karena frustrasi, iseng saya bertanya ke Papi kenapa nama saya kayak nama cewek. Sudah saya duga, Papi, yang menggandrungi dunia sastra dan filsafat sampai-sampai rumah kami punya perpustakaan pribadi yang isinya koleksi bukunya semua, adalah pengagum berat Descartes dan konsep aku berpikir, maka aku ada-nya itu. Kata Papi, saya harus menjadi manusia yang nggak cuma sekadar menerima saja apa yang ada di dunia. Saya harus jadi manusia yang berpikir, dan yang paling terutama, manusia yang yakin akan pemikirannya sendiri.

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Jan 23 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

ambyar.Onde histórias criam vida. Descubra agora