CHAPTER 5 : Berselisih.

13.9K 806 61
                                    

Pagi hari semesta terlihat redup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari semesta terlihat redup. Matahari enggan menampakkan diri sebab hujan yang menimpa terus-terusan sedari semalam. Rintik yang turun tidak terlalu deras, namun suaranya cukup untuk mencipta gema kala tetesannya jatuh menabrak atap-atap rumah.

Hestama lebih dulu bangun kala indera pendengarannya menangkap suara alarm smartphone yang berbunyi memekakkan gendang. Tanpa banyak kata ia lantas mematikan suara nyaring itu yang berasal dari smartphone milik Haruna. Sedangkan sang empu malah sibuk menarik selimut kala Hestama berusaha untuk membangunkannya dari lelap semalam.

Kemudian hal selanjutnya yang ia lakukan adalah menatap wajah istrinya sedikit lebih lama. Memandang bagaimana wajah ayu itu memikatnya hingga bertahun-tahun lamanya. Menjebak dirinya dalam jeratan perasaan yang tak pernah padam bagaimana pun keadaannya. Sekalipun rasa miliknya belum terbalas, ia tidak apa-apa selama Haruna masih berada di sisinya.

Sebab dalam keyakinan yang ia punya, suatu hari nanti Haruna akan menatapnya dengan sama mendambanya seperti dirinya.

"Haruna, ayo bangun," ujarnya membangunkan sang istri dengan suara pelan. Sedangkan jemarinya berlari menuju anak-anak rambut yang menutupi sebagian wajah istrinya.

"Lima menit lagi. Aku masih ngantuk banget," katanya sembari membalikkan tubuh memunggungi suaminya.

"Sudah jam enam, Haruna. Kamu bilang jam sembilan ada pemotretan di Lembang."

"Kamu mandi duluan aja. Nanti aku nyusul," balasnya terdengar malas.

Hestama tidak kaget, sejak dulu sejak mereka menghabiskan waktu selama lima belas tahun itu ia sudah mengenal seperti apa seorang Haruna Rihayu. Perempuan ini paling anti untuk bangun pagi. Ia akan terbangun bila sang ayah datang sembari membawakan segayung air dingin lalu menyiramkannya di atas tempat tidur.

"Saya mau bikin kopi dulu. Kamu mau minum apa?" tanyanya sebelum kakinya benar-benar turun menyentuh marmer yang dingin.

"Nggak usah," katanya.

"Teh hangat? Kamu harus minum yang hangat-hangat. Apalagi mau pergi ke Lembang dalam cuaca dingin begini."

"Ya udah apa aja terserah."

"Teh hangat mau?"

"Hmmm," gumamnya lalu kembali menyembunyikan kepalanya dibalik selimut tebal.

Di bawah ia disambut oleh beberapa asisten rumah tangga yang sudah standby dengan tugasnya masing-masing. Lalu saling menyapa kala mereka menangkap langkah panjang Hestama yang terlihat menuruni anak tangga.

"Pagi juga," balasnya sembari mengukir senyum.

"Mau buat apa, Pak? Biar saya buatkan?" tawar Bibi Ningrum kepala ART yang telah lama bekerja di rumah orang tuanya sejak Hestama masih berusia bulan.

Hestama menggeleng pelan. "Tidak perlu Bi saya cuma mau bikin kopi sama teh hangat saja kok. Bibi lanjut masak aja," balasnya ramah.

"Mbak Haruna masih tidur?" tanyanya lagi.

Love And Hurts (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang