XXVIII

8 0 0
                                    

Sebuah panggilan membuatnya terhenti. Melihat nama yang tertera, matanya berotasi malas. Tak lama ia mengangkat panggilan itu, sebuah suara seorang wanita terdengar.

"T-tolong ... tolong Bibi ... m-maaf--ukhuk!"

Wajah Zehra berubah seketika, alisnya naik dengan heran. "Bibi? Kenapa? Bibi gak apa-apa?"

"T-tolong Bibi ..., "

"WANITA SIALAN!"

"AKH!"

"---"

"Bibi? Bibi kenapa?! Bibi?! Halo?!"

Panggilan itu terputus. Zehra menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Suara ... pistol. Jantungnya seketika berdetak tak karuan.

Gadis itu yang awalnya ingin membakar sampah, kini lari ke luar kafe. Mencoba menghubungi kekasihnya untuk menjemput.

Sementara itu, di tempat lain, orang yang menerima itu langsung mengambil kunci motor dan bergegas berangkat dengan kecepatan tinggi. Di jalan, ia mengumpati kekasihnya.

"Abis berak bukannya disemangatin, malah dibuat panik, untung sayang."

Raes tak sampai dalam lima menit. Karena jarak rumahnya dan kafe yang terlalu jauh, ia sampai di tempat, telat 10 menit. Dan hal itu, membuat Zehra berdiri dengan air muka tertekuk dan bersedekap dada.

"Kenapa lagi cinta?" tanya Raes dengan lembut.

"Telat 10 menit!" ketus Zehra.

"Ya kamu, kan, tau, jarak rumah aku sama kafe jauh."

"Bodo!" Gadis itu naik ke atas motor Raes. "Gas!" perintahnya.

Raes yang masih bingung pun bertanya, "Kemana dulu, neng? Main naik aja."

"Jakarta."

Raes melotot terkejut, "Ngapain anjir?!"

"Berak! Pake nanya lagi Lo. Udah buruan, urgent ini!" Ia menepuk-nepuk pundak kekasihnya keras-keras.

Raes melajukan motornya tanpa pikir panjang. Ia tak menghiraukan panggilan Zehra yang berubah atau apapun. Ia juga penasaran kenapa kekasihnya ini ingin kembali ke Jakarta.

"Ni bensin kayaknya kagak bakalan cukup, deh, beb," ungkap Raes yang masih fokus pada jalanan.

"Abis ya beli, gitu aja ribet. Cepetan dikit napa?! Lemot amat kek siput!"

Raes mengelus dadanya sabar, "Ini udah ngebut, Sayang."

***

"Udah malem ini, kita nginep dulu mau?" tawar Raes.

"Enggak! Aku mau terus!" Suara Zehra sedikit bergetar. Selain dinginnya angin malam, ia juga masih khawatir dengan keadaan keluarganya.

"Kamu-nya kedinginan nanti."

Gadis itu menggeleng keras, dengan air mata berderai ia berucap, "Enggak! Aku bilang terus ya terus!"

Raes menyadari satu hal, "Kamu nangis?" Dan dengan mengatakan hal itu, ia telah menyalakan air keran yang sejak tadi dimatikan.

"Eng ... enggak, kok!"

"Yakin? Jauh, lho, ini."

Zehra mengangguk. Raes tak yakin. Ia memberhentikan motornya pada sebuah warung yang masih terang di jam 10 malam. Zehra kebingungan, "Kenapa berhenti?"

"Turun dulu, " kata Raes.

"Ha?" Zehra tetap turun dari motor meski tak paham maksud hati dari lelaki itu.

Raes membuka jok motornya, dan mengambil jaket kebesaran yang memang selalu digunakan Zehra ketika kedinginan. Lelaki itu memakaikan jaket itu di tubuh mungil Zehra. Gadis itu mengambil alih, dan memasang sendiri dengan cekatan.

"Ayo! Lanjut jalannya! Bibi aku dalam bahaya!" desak Zehra dengan suara seraknya.

"Sebentar ... aja." Raes berjalan ke dalam warung. Lelaki itu membelikan beberapa camilan juga air mineral untuk kekasihnya. Dengan cepat ia memberikan bungkusan itu kepada Zehra. "Dimakan di jalan, ya?" Zehra tak menanggapi.

"Ayo! Katanya cepetan." Raes sudah berada di atas motornya. Disusul Zehra dengan cepat naik tanpa bantahan.

Keduanya akhirnya melanjutkan perjalanan yang lumayan panjang itu. Di antara taburan bintang yang memenuhi lautan angkasa, dengan kencangnya angin malam, juga sepinya jalanan. Zehra mengeratkan pelukannya pada pinggang kekasihnya, kala ia merasakan bulu kuduknya merinding.

Pasangan itu pada akhirnya sampai di Jakarta di siang hari. Panasnya jalanan kota, juga asap yang mengepul di mana-mana menyambut mereka berdua.

Kendaraan besi itu melaju menuju kediaman lama Zehra. Di sana, bendera kuning yang ditancapkan di pion rumah itu, menjadi pusat antensi Zehra. Jantungnya seketika berdegup kencang. Pikirannya kacau seketika.

Gadis itu langsung turun dari motor Raes. Berlari ke sana tanpa memedulikan apapun. Tangis pilu terdengar di indra pendengarannya. Zehra membeku. Lidahnya tak ingin menanyakan hal ini, namun harus.

Ia menepuk pundak seorang wanita di sana, "B-bibi, s-siapa yang meninggal?"

Wanita itu menoleh dan menanggapi, "Loh? Kamu gak tau? Katanya, sih, kemarin sore ada pembantaian di rumah ini. Pemiliknya semua meninggal, kecuali anak perempuannya yang kebetulan baru pulang dari Bandung."

Jantungnya seolah akan keluar dari tubuh. Zehra langsung membelah kerumunan. Lalu ia reflek menutup mulut saat melihat pemandangan di depannya. "B-bibi?! Paman ...."

Tubuhnya luruh di samping dua mayat yang terlihat pucat itu. Tangannya terulur ingin menyentuh tubuh dingin Sang bibi, namun, sebuah tangan menepisnya.

"Jauh-jauh, Lo, dari keluarga gue! Kalo bukan karna Lo, mereka masih bisa hidup sekarang!" bentak Sasya yang keadaannya sangat kacau.

"Gue gak tau apa-apa ...," racau Zehra.

Di belakangnya, Raes dengan sigap memeluk kekasihnya. Mengelus punggung rapuh itu dengan mata prihatin. Ia membiarkan setiap umpatan dari sepupu Zehra. Lelaki itu tahu, bahwa sebagai anak, Sasya pasti sangat terpukul atas kejadian yang menimpa keluarganya.

Raes mengelus kepala Zehra yang masih meracau tak bersalah, disertai isakan memilukan. Matanya memindai rumah besar yang sudah diambil alih beberapa tahun yang lalu. Selain barang rumah yang berantakan, juga garis polisi yang terpasang, matanya menangkap seseorang yang tak asing.

Lelaki itu menyipitkan mata guna melihat dengan jelas. "Fiziel? Dia ngapain ada di sini?!"

Cafetaria story (End)Where stories live. Discover now