Cover :by Pinterest
Edit : by Canva
Shireen Al-attas, putri ketiga dari pengusaha parfum yang ternama tersebut kini terusir dari keluarganya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia sangka akan terjadi di dalam hidupnya.
Berawal dari Shireen yang di...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Holla Balik lagi sama Mas Andika
"Bagaimana bisa kamu menawarkan pernikahan macam itu kepada Ibu dari anakmu, Andika? Bertanggungjawablah dengan benar, dan jangan membuat pernikahan sebagai kesalahanmu yang lainnya."
"............"
"Nggak akan ada orang waras yang mau menerima pernikahan macam permainan seperti yang kamu tawarkan ini."
Kalian tahu siapa yang tengah berbicara? Ya, orang yang datang dan langsung memberikan ultimatumnya pada sikap egois Kak Andika adalah Ayahnya sendiri, yaitu Om Dwika.
Om Dwika tidak datang sendiri, tampak juga Tante Alia, Tante Riana yang aku kenali karena menjagaku kemarin bersama dengan seorang pria berkacamata yang belakangan aku tahu bernama Om Abra, dan yang paling membuatku syok adalah kehadiran Kak Adam dan juga istrinya, kak Tasya, diantara keluarga Kak Andika.
Mengabaikan keluarga Kak Andika yang menatap penuh kemarahan pada Kak Andika, Kak Tasya menghampiriku. Sorot matanya yang lembut seperti Ummi terlihat iba saat dia membawaku ke dalam pelukannya. Usapan lembut aku dapatkan darinya, dan sungguh inilah yang sebenarnya aku butuhkan.
"Kenapa kamu nggak cerita ke Kakak, Reen. Kenapa kamu nyimpan hal seburuk ini seorang diri? Kakak nggak bisa bayangin gimana takutnya kamu selama ini. It's oke Sayang, sekarang kamu aman sama Kakak."
Lirih Kak Tasya membisikkan kalimat-kalimat penenang untukku, hatiku yang ngilu benar-benar mendapatkan penghiburan saat mendengar apa yang beliau katakan. Duniaku yang sebelumnya begitu suram karena aku merasa benar-benar terbuang sedikit terobati. Ternyata keluargaku tidak sepenuhnya meninggalkanku karena keluarga kakakku masih peduli kepadaku.
Puas memelukku, Kak Tasya melerai pelukannya, kesedihan terlihat dimatanya saat dia meneliti setiap wajahku yang lebam dan dia benar-benar menangis saat melihat tangan kiriku yang terperban tebal, luka sayatan saat aku berusaha mengakhiri hidup. Tentu saja apa yang dilakukan Kak Tasya ini tidak luput dari perhatian orang-orangtua Kak Andika.
"Sakit, Reen?" Hanya sebuah pertanyaan sederhana dari Kak Tasya, seharusnya aku bisa langsung menjawab seperti yang sudah-sudah jika aku tidak apa-apa agar dia tidak usah khawatir, tapi nyatanya hatiku lemah, hatiku hancur berantakan, rasa pilu dan sesak atas semua kekecewaan yang dirasakan orangtuaku dan betapa tidak adilnya takdir dalam memperlakukanku, membuatku kembali meneteskan air mata saat aku menghambur dan memeluk Kak Tasya. Aku benar-benar menangis di bahu Kakak iparku ini, tangis seperti anak kecil yang tengah mengadu tentang jahatnya teman sepermainanku hingga aku sesenggukan. Sekuat tenaga aku berusaha meredam tangisku namun tetap saja aku tidak bisa menghentikannya.
"Aku udah ngecewain Ummi sama Baba, Kak. Aku udah bikin keluarga malu."
"Nggak apa-apa, Reen. Nggak apa-apa, ada kakak sekarnag. Kamu nggak perlu takut lagi, ya." Sesenggukan, aku mengadukan semuanya kepada Kak Tasya disela tangisku yang terbata-bata. Banyak hal yang ingin aku katakan pada kakak iparku ini tapi tangisku lebih menjelaskan segalanya. Bahkan aku lupa jika sekarang disini bukan hanya ada aku dan Kak Tasya tapi juga keluarga Kak Andika yang menatapku dengan pandangan berbeda-beda saat melihatku menangis.
Dan tiba-tiba secara mengejutkan Om Dwika menendang Kak Andika. Benar-benar menendang dengan kuat sampai pria yang sebelumnya memohon kepadaku ini terjungkal ke belakang dengan cara yang sangat mengenaskan. Bahkan tanpa memberikan kesempatan untuk Kak Andika bangkit, Om Dwika sudah menyingsingkan lengan kemeja beliau dan detik berikutnya beliau menendang kembali Kak Andika yang hendak bangun. Tidak hanya menendang putra sulungnya, Om Dwika yang selama ini aku kenal sebagai sosok hangat dan ramah pun memukuli putranya tersebut tanpa ampun di sertai dengan umpatan penuh kekecewaan.
"Papa nggak pernah ngajarin kamu jadi manusia brengsek macam ini, Andika."
Bugh
"Kamu lihat, kan? Kamu nggak buta kan buat lihat hancurnya hidup perempuan yang sudah kamu nodai itu? Dan itu semua karena ulahmu!"
Plakkkkk
Bugh
"Dan setelah semua yang kamu lakukan, bisa-bisanya kamu menawarkan pernikahan permainan!!! Seumur hidup kamu berlutut memohon maaf atas dosa pun kepada Shireen pun tidak akan lunas untuk membayarnya-!"
Baik Tante Alia, Tante Riana maupun Om Abra tidak ada satupun dari mereka yang mencoba menghentikan Om Dwika, mereka hanya terdiam dan membiarkan Kak Andika menjadi bulan-bulanan Om Dwika. Wajah tampan yang sebelumnya berhias perban karena sambitan gelas yang aku berikan kepadanya kini semakin hancur karena Kak Andika sendiri pun sama sekali tidak melawan.
"Papa benar-benar kecewa denganmu, Andika." Terengah, Om Dwika akhirnya berhenti, dan saat itu aku bisa melihat bulir air mata di antara keringat beliau yang mengalir deras.
Dibantu oleh Tante Alia, Kak Andika bangkit, namun kembali lagi sebuah tamparan melayang ke wajah tampan tersebut, jika Om Andika begitu berapi-api maka kali ini Tante Alia justru berkata dengan lembutnya, tapi terasa dengan jelas setiap emosi dan kekecewaan di setiap kata-katanya. "Dulu kamu menangis saat Papamu menyakiti Mama, kamu berjanji ke Mama kamulah yang akan menjadi pelindung Mama dari orang-orang jahat yang akan menyakiti kita, tapi lihatlah dirimu sekarang Andika. Kamu bahkan jauh lebih brengsek dari Papamu, kamu hancurkan anak gadis orang, kamu hancurkan hati wanita yang mengandung anakmu. Nak, jangan seperti ini ya, kamu salah jadi ayo perbaiki kesalahanmu."
"Tapi Ma, ada ......." Sampai di titik akhir pun Dillalah yang memenuhi kepala Kak Andika, satu hal berat yang membuatnya begitu jahat pada orang lain bahkan membuat pernikahan seperti sebuah permainan yang dia jalani hanya sebagai sebuah pelengkap. Aku menarik nafas panjang, pada akhirnya aku justru seperti pengemis yang memohon agar dinikahi dan tidak diceraikan lagi saat semua urusan tentang nama baik sudah beres. Tidak ingin mempermalukan diri lebih jauh, aku akhirnya angkat bicara.
"Sudah Tante, nggak usah maksa Kak Andika untuk bertanggungjawab atas kesalahannya. Dari awal pun saya nggak mengharapkan hal ini dari seorang pemerkos4 sepertinya. Seperti yang beratus-ratus kali dia katakan, dia khilaf dan dia merasa ini semua nggak adil untuknya. Manusia egois seperti putra Anda tidak akan pernah mengerti apapun kecuali kesakitannya sendiri yang jengkel karena masalah ini hadir saat dia sedang bahagia-bahagianya dengan wanita yang dia cintainya."
Aku melihat Kak Andika sekilas, pria ini menunduk dan mengusap wajahnya yang berantakan dengan kasar, entah apa yang hendak dia katakan sekarang aku sudah tidak ingin mendengarnya lagi.
"Kak Adam, aku mau pulang." Rengekku pada Kakak tertuaku tersebut, tanganku terulur berharap dia akan membantuku, namun Kakak tertuaku tersebut tetap ditempatnya sama sekali tidak bergeming. Alih-alih menghampiriku, Kak Adam justru mendekati Kak Andika, satu hal yang tidak aku sangka adalah sosok keras Kakakku yang sama mengerikannya seperti Baba ini justru menunduk berlutut memohon kepada pria yang sudah menghancurkan hidupku.
"Tolong jangan rusak adikku lebih jauh lagi. Jangan permainkan dia seperti ini. Sebagai kakak yang menggantikan tanggung jawab orangtua saya, saya benar-benar memohon kesadaran kamu."