27. Ruined Heart

1.9K 323 149
                                    

Suara rintik hujan terdengar sejak dua jam lalu, tepat ketika Biru terbangun dari tidurnya. Tidak terjadi untuk yang pertama kali, sebab hari-hari sebelumnya pun Biru dibangunkan oleh fenomena alam tersebut, seolah mewakili tangisnya yang tak lagi keluar karena lelah.

Entah sejak kapan, Biru jadi terbiasa dengan suhu dingin, tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang rentan. Ia hanya perlu sesuatu yang menenangkan dan salah satunya adalah menikmati hujan dari balkon, seperti yang dilakukannya sekarang. Bermodal pakaian tipis, Biru nekat berdiam diri di tengah-tengah embusan angin yang berlomba memasuki kamarnya.

Pandangannya tertuju pada gerbang utama yang berada beberapa meter dari mansion. Lama memantau, harapan Biru untuk melihat gerbangnya terbuka tidak juga terjadi. Terakhir kali, gerbangnya terbuka ketika Biru pulang dari rumah sakit, memasuki mansion hanya untuk mengetahui kalau ia akan ditinggalkan sendiri. Setelah itu, Biru sama sekali belum pernah meninggalkan mansion barang sejengkal pun. Selain karena hujan terus datang, Biru juga tidak ingin melewati momen melihat keluarganya pulang, meskipun sampai saat ini masih menjadi angan-angan semata.

"Kamu nggak ikut main, Biru?"

Biru menatap tangannya yang kini digenggam oleh seseorang. Kala menoleh untuk melihat siapa yang datang, Biru hanya bisa tersenyum dan bergumam pelan, "Enggak, Grandpa."

Biru kemudian menoleh ke halaman depan, terbayang akan momen di mana keluarganya bermain golf di bawah sana, sementara ia hanya bisa melihat dan ditemani oleh mendiang kakeknya. Mengingat jawaban yang diberi Theodore ketika bertanya mengapa beliau tidak ikut bergabung dengan yang lain, Biru berhasil dibuat sesak.

"Ada hal lain yang lebih Grandpa suka dibanding main golf, Biru."

"Oh, ya? Apa itu?"

"Menemani kamu. Grandpa nggak bisa biarin kamu sendiri di sini."

Biru mengusap tangannya sendiri, merasakan genggaman yang terasa nyata meskipun hanya berupa khayalan. Pandangnya kembali ke tempat di mana keluarganya bermain. Biru tidak tahu apakah momen itu bisa diulang kembali atau tidak. Biru juga tidak tahu sampai kapan ia akan berlayar dalam kesendirian.

Merasa sudah mencapai batasnya, Biru mengambil langkah untuk mundur, kembali ke kamar dan menutup rapat-rapat pintu balkon. Sempat terdiam sebentar, pandangan Biru mulai teralih pada buku-buku yang ada di meja belajar. Biru sudah lupa, kapan terakhir kali ia sekolah.

Tidak bisa terus menerus larut dalam sedih, Biru mulai berpikir untuk melanjutkan hidupnya seperti biasa. Ia pun bergerak untuk memilah buku yang biasa ia gunakan untuk sekolah. Biru harus membuktikan pada Jonathan bahwa ia bisa bertahan dalam kesendirian yang direncanakan olehnya.

Kala fokus membereskan meja belajarnya, Biru seketika berhenti bergerak kala mendengar suara yang tak asing. Biru tahu betul bagaimana suara tawa kedua adiknya, juga nada marah yang dilemparkan Julian ketika diganggu oleh mereka. Suara-suara yang terdengar dekat itu membuat fokus Biru teralih. Maka dengan gerakan cepat, Biru langsung keluar dari kamar untuk mencari keberadaan mereka.

"Athalla, Haidar!"

Dengan tak sabaran, Biru berlari sampai ujung tangga hanya untuk mendapati dirinya seorang diri. Kala menyadari kalau ia lagi-lagi berkhayal, Biru seketika menghentikan langkahnya. Perlahan, ia menjambak rambutnya sendiri, menyesali diri kenapa masih juga terkecoh oleh suara-suara yang datang tanpa diundang.

"Kak Biru, tolong aku! Kak Julian mau tenggelamin aku juga Athalla!"

Biru mulai menutup kedua telinganya saat mendengar suara Haidar menyapa telinga. Jantungnya berdegup kencang karena kembali dihampiri rasa takut.

A Little Thing Called : QUERENCIA [END]Where stories live. Discover now