Awal dari segalanya

9 11 12
                                    

"Papa ditipu, uang perusahaan habis, hutang perusahaan di mana-mana." Vania menatap putri semata wayangnya dengan raut sedih. "Papa sekarang dikejar hutang, kalau Papa tidak segera melunasi hutang dan mengembalikan hak para karyawan. Mereka akan menyeret Papa ke penjara. Orang-orang itu mau uang mereka kembali. Please, Maudy, Maudy bantu Papa, Sayang. Mau menerima permintaan Nyonya Jihan, mantan Bos Papa dulu. Cuma dia yang bisa bantu Papa saat ini," sambung Vania menatap sang putri penuh harap.

"Hanya Nyonya Jihan yang bisa bantu, Maudy."

"Sudahlah, Ma. Kita tidak bisa seperti ini pada Maudy." Dery memegang kedua bahu istrinya, seakan menyuruh agar wanita itu tenang.Sementara Vania saat ini menggelengkna kepala tidak terima. Vania melepas pegangan sang suami dari kedua bahunya, kemudia mendekati Maudy dengan memegang kedua jemarinya.

Dery tak henti memijat pelipis, tidak tahu keadaan saat ini. Di sisi lain pria itu pusing dengan musibah yang sedang menimpa dirinya dan yang paling utama adalah kebahagiaan putri satu-satunya sedang berada di ujung tanduk.

"Tidak apa jika kita harus kehilang semuanya. Termasuk perusahaan, Maudy. Terpenting sekarang adalah Papa. Minimal bisa melunasi hutang perusahaan agar Papa tidak diseret ke penjara dengan begitu Papa akan selalu ada di samping kita, Sayang." Vania menatap Maudy dengan air mata. Saat ini gadis yang diminta permohonan ikut meneteskan air mata. Maudy terdiam sulit membuka suara. Gadis yang baru dua Minggu meraih gelar S1 Sarjana Ekonomi itu hanya bisa berperang dengan otaknya.

Baru saja ia merasa senang dengan toga di kepala, berfoto bahagia dengan Papa dan Mama tercinta. Kehidupan yang serba berkecukupan, tiba-tiba diberi situasi mengenai kebangkrutan, ditambah dengan permohonan sang Mama agar menyetujui permohonannya. Menikah dengan cucu Jihan. Wanita tua pemilik perusahaan terbesar. Jihan berjanji akan melunasi hutang perusahaan dan membantu Dery keluar dari masalah dengan satu syarat; Dery harus rela menikahkan putrinya dengan cucu semata wayang Jihan. 

"Saya kenal dengan kamu. Saya juga kenal betul dengan Maudy putrimu. Saya pikir dia adalah gadis yang pantas untuk Devatra cucu saya. Walau mereka memiliki selisih usia yang tidak sedikit, tapi saya yakin dia bisa mengubah perilaku Devatra yang tidak saya sukai, melindungi Devatra dari wanita jalang itu. Menjaga Devatra agar tidak terhipnotis tipu daya, dan yang paling utama tidak membiarkan cucu saya dalam hitungan detik pun untuk bertemu dengan benalu jalang Sonia." Ucapan itu masih jelas diingatan Dery. Ia tidak tahu, mengapa Bos yang paling ia kagumi dari dulu saat ini memberikan pilihan yang mengancam kebahagiaan putrinya. 

"Mama tahu ini berat, kami juga berpikir seribu kali untuk ini." Vania menatap Dery, pria paruh baya membalas tatapan sang istri dan anaknya dengan raut sedih dan lemah. Derykecewa pada dirinya sendiri. Dalam situasi seperti ini ia tidak bisa melindungi keluarga, menjaga kebahagiaan kedua wanita yang ia cintai, bahkan saat ini salah satu dari mereka harus berkorban untuk keluar dari masalah. Yakni, Maudy, gadis kesayangannya saat ini sedang dipertaruhkan pilihannya.

"Kamu putri kami satu-satunya, Sayang. Kamu yang diharapkan Nyonya Jihan. Jika Papa dipenjara, siapa yang jaga Maudy dan Mama? Papa dan Mama kenal Nyonya Jihan. Keluarganya terhormat dan jauh dari masalah. Cucunya adalah calon penerus perusahaan JihanSon's Group. Kamu akan terlindungi, sayang. Mama yakin kamu akan baik-baik saja dengan mereka. Dia yang membantu Papa sejak dulu."

Maudy menggeleng tidak percaya. "Tapi, Ma, ini bukan mengenai dilindungi, bebas, dan uang. Ini tentang kebahagiaan Maudy. Mama dan Papa mau aku hidup atas keterpaksaan?" Maudy menatap Vania dengan perasaan hancur. " Mama juga tahu betul, bukan? Pria bernama Devatra itu jauh lebih tua dariku? Dia memliki usia tujuh tahun di atasku," sambung Maudy mencoba menjelaskan.

Vania mengangguk. "Mama tahu, Mama tahu itu sayang. Dia lebih tua dari kamu.Justru karena itu, Sayang. Mama percaya dia bisa melindungimu dengan sikap dewasa yang ia miliki."

Maudy menggeleng kuat-kuat. "Usia tidak bisa menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang, Ma. Aku benar-benar akan hidup dalam kesengsaraan jika menikah dengan pria setua dia."

Vani menakup wajah putrinya. "Kamu pasti bahagia, kamu pasti bahagia, Sayang. Mama yakin itu." Vania beralih menggenggam kedua jemari putrinya. "Jangan pikirkan tentang George lagi. Ini sudah tahun ke tiga, Maudy. Berhenti berharap dan terus memikirkan anak bajingan itu. Dia hanya preman bumi penghancur dunia. Terima tawaran Jihan menikahlah dengan Devatra cucunya. Kamu akan bahagia dan keluarga kita akan dalam keadaan aman, Sayang."

Titik bening merembes turun. Apa sampai di sini kebahagiaannya? Bukan masalah melupakan mantan. Memang sampai saat ini tidak ada seseorangpum yang mampu singgah di ruang hatinya setelah penghianatan George. Akan tetapi, ini tentang pilihan dan penempatan hati. Mencoba melupakan George bukan berarti ia bisa menerim pria lain, ditambah tidak dikenal sebelumnya.

Maudy menatap sang Papa, wajah itu terlihat mengharapkan jawaban setuju dari Maudy. Walaupun sedari tadi ia berusaha melarang permohonan sang istri. Ia hanya tidak ingin Maudy kecewa dan merasa benci terhadapnya.

"Arsen adalah dibalik ini semua. Dia yang berhak bertanggung jawab." Dery menarik napasnya dalam. "Papa mengerti kamu, Sayang. Ini semua tidak bisa dipaksakan. Papa akan menebus semuanya. Permintaan Papa, kalian harus sabar menunggu Papa bebas dari jeruji besi, dan hal yang paling utama, kamu dan Mama harus tetap bisa tersenyum agar Papa tenang nanti di penjara." Dery memeluk kedua wanitanya, ketiganya menangis satu sama lain.

"Jangan berkata seperti itu, Mas. Maudy dan aku tidak akan pernah bisa melepaskanmu untuk pergi ke sana." Vania menatap sang suami protes, air mata terus merembes turun. Maudy mengangguk, seakan menyetujui ucapan Vania. "Maafkan Mama, Sayang. Jika Mama menyakti hatimu dengan beberapa permohonan tadi." Vania merapikan anak rambut Maudy.

"Kalian harus kuat, biar Papa juga kuat di sana nanti." Lagi Dery memeluk keduanya. Kali ini semakin erat, derai air mata menyertai. Ia mengecup pucuk rambut sang istri dan anaknya bergantian.

"Itu tidak akan pernah terjadi, Pa," ucap Maudy dengan nada tersendat. "Aku terima tawaran itu," sambungnya menahan isakan.

Vania dan sang Suami melonggarkan pelukan, keduanya menatap putri mereka bersamaan.

"Aku tidak mau Papa dipenjara. Tidak mau keluarga kita hancur sampai di sini," ucap Maudy dengan nada tercekat. Dery merengkuh tubuh putrinya,memeluknya erat. "Jangan, jangan lakukan itu, Sayang. Papa minta maaf, kebahagiaanmu paling utama. Papa janji, Papa tidak akan lama di dalam penjara." Dery berusaha menahan tangis, berkali-kali ia mengusap rambut Maudy lembut. Maudy melepas pelukan sang Papa. 

"Percaya padaku, Pa. Ini adalah keputusan Maudy. Maudy sudah memikirkannya, biarkan Maudy menerima pernikahan itu."

Vania menatap putrinya sedih. "Sayang ...," lirihnya.

Maudy menarik senyuman paksa. "Percaya padaku, Ma, Pa." Ia menatap Vania dan Dery bergantian.  "Biarkan aku menerima tawaran Nyonya Jihan."

Dery memegang jemari Maudy. "Are you okay, Baby Girl?"

" Maudy mengangguk. "I am okay." Langsung Dery mencium punggung tangan putrinya dengan tulus. Mata pria itu terpejam, lama mendaratkan kecupan di sana. Tidak terasa benda bening kini berhasil lolos.

Vania langsung memeluk putrinya dengan tangisan pecah, Dery melakukan hal yang sama. Ketiganya saling berpelukan melepas kesedihan.

"Maafkan Papa, Maudy. Maafkan Papa, Sayang. Maafkan Papa yang sudah melibatkan kalian dalam masalah besar ini."

"It's oke, Pa. Kamu harus tersenyum. Kamu dan Mama harus tetap tersenyum. Aku ingin kalian berdua bahagia di hari pernikahanku nanti,"ucap Maudy meyakinkan. Keduanya mengangguk. 

"Pasti, Sayang," jawab Vania menahan tangis.

"Aku mencintai kalian," desis Dery dengan nada serak, pria itu memejamkan mata, kemudian mencium kening kedua wanitanya bergantian.

Next?

Maudy untuk DEVATRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang