Vows Are Still Sacred

443 31 6
                                    

"Hai, papa.." Jisung berjalan menuju meja makan di mana kedua orang tuanya sedang menyiapkan sarapan untuk mereka.

Haechan hampir tidak mendengar sapaan yang lebih mirip seperti bisikan itu jika Mark tidak menyikut lengannya dan memberitahu sang suami bahwa putra mereka tengah tersenyum padanya.

"Hai, sayang." Haechan berdeham, suaranya terdengar kering dan asing. Ia masih canggung dan tidak tahu cara menghadapi putra kandungnya itu.

"Apa menu sarapan kita?" Jisung bertanya pada Haechan sambil menaruh tas sekolahnya di bawah kursinya.

"A-aku? M-maksudku, kau bertanya padaku?" Haechan tergagap. Dan Jisung memasang ekspresi merasa bersalah setelahnya.

Mark dengan cepat menyelamatkan situasi yang membingungkan itu dengan mengusap kepala Jisung lembut. "Bagaimana tidurmu, sayang? Kita akan sarapan dengan waffle. Kesukaanmu, atau kau ingin sarapan dengan menu lain?"

Jisung masih menatap Haechan dengan sedih untuk beberapa saat, lalu ia beralih memandang sang daddy dengan senyum tipis. "Tidurku nyenyak. Dan aku tidak keberatan dengan waffle. Apa papa yang membuatnya?"

Haechan mengangguk dengan kikuk. "K-kau suka?"

"Aku menyukainya. Apa papa akan ikut dengan daddy mengantarku ke sekolah hari ini?" Tanya Jisung dengan semangat.

Haechan terlihat berpikir, lalu ia menatap Mark untuk meminta bantuan.

"Papa masih lelah, sayang. Kau tahu 'kan kalau papa sedang tidak terlalu sehat? Mungkin lain kali, oke?" Hibur Mark. Tetapi Jisung tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya.

"Maafkan Jisung, papa." Air mata Jisung hampir tumpah.

Haechan hanya bisa terdiam menghadapi situasinya. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Haechan merasa dirinya lemas dan tak berdaya, pikirannya kacau dan hatinya berkecamuk. Mark benar, ia masih sangat sakit untuk beraktifitas.

Mark menatap mereka dengan sendu. "Papa tidak apa, sayang. Kau tidak perlu khawatir." Hiburnya pada sang putra, karena demi Jisung, Mark akan menyembunyikan rasa cemasnya akan perubahan sikap Haechan itu.

Mark akan menyembunyikan rasa khawatirnya ketika melihat Haechan yang pendiam dan terlihat linglung, yang lebih pasif dari biasanya seakan pikiran suaminya itu ada di tempat lain.

Jisung menatap papanya penuh penyesalan. "Aku tidak membencimu, pa. Tidak pernah." Gumamnya, suaranya pelan dan ragu. "Tapi jika kau membenciku sekarang, aku tidak apaㅡ" Jisung tersedu, tersedak air matanya sendiri.

Haechan menggigit bibirnya untuk menahan rasa sesak didadanya dan air matanya yang sedikit lagi akan terjatuh. Tangannya yang tengah memegang garpu bergetar dengan hebat.

"A-aku mengatakan hal-hal buruk pada papa selama ini, aku tidak mendengarkanmu.. hidup papa berantakan karena dirikuㅡ"

Air mata Haechan berhasil meluncur dari matanya dan membasahi pipinya, dan napasnya tersengal.

Mark segera bangkit dari tempatnya duduk untuk memeluk putranya dan menggendongnya menjauhi Haechan. "Ssshh, sayang... tidak apa."

Mark membawa tas sekolah Jisung serta kotak bekalnya dan memutuskan untuk mengantarnya ke sekolah. "Sayang, papamu tidak pernah membencimu. Ia sangat menyayangimu. Namun, papa sedang mengalami hari yang berat dan suasana hatinya sedang buruk. Ia juga kebingungan dan kelelahan." Jelas Mark. "Daddy minta padamu untuk memahaminya dan memberinya waktu, oke?" Sambungnya sambil mengusap jejak air mata Jisung dipipinya.

Untungnya Jisung merupakan anak yang pintar dan peka. Dengan usianya yang hampir menginjak delapan tahun, ia bisa dengan cepat memahami situasi di sekitarnya.

Arranged MarriageWhere stories live. Discover now