5

762 26 0
                                    

Hafa tersentak sekaligus gentar saat dibentak seperti itu. "Ini ayam masih mentah. kamu ya kira-kira dikit. masa saya makan-makanan yang masih mentah?" pekiknya.

"M-maafkan saya, Tuan. Saya enggak bermaksud. Saya hanya mencoba menyediakan semua sesuai waktu yang diberikan. K-kalau tidak, sekarang saya buatkan lagi ya, Tuan? Tapi saya meminta waktunya agak lama. Soalnya ini ayamnya agak tua dan harus dimasak lama." ucap Hafa.

"kamu itu apa enggak pakai otak?! otak dipakai buat apa? pajangan?! dalam waktu dua puluh menit kamu bisa beli langsung pecel ayam depan sana. kamu sendiri tadi ngelewatin tempat itu kan?! disamping pecel ayam juga ada yang jual susu jahe, dalam waktu lima belas menit pun kamu sudah bisa mendapatkan keduanya!" ucap Rashid.

Hafa merasa sangat terpukul mendengarnya. Kedua telinganya serasa penuh oleh semua penekanan itu. Ia tertunduk, ingin menangis. Tidak ada perkataan yang ia keluarkan selain. "M-maafkan saya, Tuan. Maafkan saya." ucapnya dengan suara kecil.

"Yasudah sekarang kamu pergi, beli cepetan!" titahnya. Hafa segera pergi setelah mengatakan. "Baik, Tuan." 

Tak lama setelahnya Zahra melihat betapa berantakannya dapur saat itu, gelas pecah di lantai, panci berisi ayam rebus yang tidak ditutup, kecap yang berceceran di sekitar kompor dan tempat gula maupun tempat teh yang belum ditutup. "Loh kok dapur berantakan gini sih?" batin Zahra. Ia langsung mendekati Rashid di kamarnya.

"Ras, kok dapur berantakan gitu? Kamu pasti suruh Hafa yang aneh-aneh kan?" tebak kakaknya itu.

"Memangnya kenapa? Toh itu bagian dari pekerjaannya juga kan?" tanya Rashid.

"Rashid! Jangan hanya karena dia pekerjamu, kamu berhak melakukan hal apapun ke dia. Gajinya disini juga cuma sedikit kok, ngapain sih kamu ngelakuin hal seenaknya terus?!" tandas Zahra.

Rashid hanya terdiam saat itu, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Tidak perduli.

"Dia sekarang kemana?!" tanya Zahra.

Rashid hanya terdiam hingga dua kali Zahra mengatakan hal yang sama, adik semata wayangnya itu pun berkata. "Dia beli ayam bakar di depan." tandas Rashid.

Zahra terkejut. "A-apa?! Kan dia mau masak ayam rica-rica tadi? Memangnya kamu enggak mau?!" tanya Zahra.

"Udahlah Kak ngapain sih bela dia? Dia lagi menjalankan tugasnya kok." ujar Rashid.

"Kakak heran deh sama kamu, kenapa malah beli ayam bakar. Astagfirullah.. jadi ayam yang kakak beli tadi belum dimasak?" tanya Zahra.

Rashid hanya diam, masih tidak perduli.

"Kamu yang egois dan semaunya sendiri. Papa udah mau pulang loh sekarang, dan waktu juga udah sore, udah waktunya jam makan juga. Nanti masaknya enggak keburu. Asal kamu tahu, yang ada di rumah ini itu bukan hanya kamu aja!" tandas Zahra.

Rashid terdiam, ia masih kekeh dengan prinsipnya jika ia tidak bersalah apa-apa dalam urusan ini.

Hafa pun mengetuk pintu dan masuk ke dalam seraya mengucap salam. "Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." jawab Zahra ketika didekati oleh Hafa yang membawa sebungkus ayam bakar.

"Maaf ya, Hafa.. saya jadi enggak enak sama kamu." ucap Zahra.

Menaklukkan, Tuan Rashid (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang