Bab 3

11 2 2
                                    

Rumah Sumi kembali sepi. Istri Sastro menatap jauh ke depan dengan hati nyeri. Perjanjian orang tua dan perjodohannya dengan laki-laki yang sudah memberinya dua anak tidak lagi berpengaruh. Kedua orang tua Sumi dan Sastro sudah tenang menghadap Yang Maha Kuasa. Kehidupan pernikahan yang terbelenggu oleh aturan-aturan kesepakatan para orang tua sebenarnya sudah tidak dirasakan Sumi. Entah karena cinta sudah bertumbuh di hati Sumi dan Sastro atau karena kepiawaian Sastro memperlakukan istrinya yang waktu itu gadis muda serta lugu.

Sumi yang lugu yang di awal pernikahan tidak mempunyai rasa cinta layaknya perempuan terhadap laki-laki, hanya pengabdian seperti yang dilakukan ibunya terhadap bapaknya tidak menyangka tergores oleh rasa sakit. Cinta itu tumbuh seiring perjalanan waktu. Ketika anak pertama lahir, Sumi mendapat perlakuan istimewa dari suaminya. Itu pertama kali muncul getar halus di hati wanita muda itu. Irama hidup Sastro pun berubah, menjadi betah di rumah dan kemanapun Sastro keluar rumah selalu mengajak anak pertamanya yang diberi nama Eka Jaya. Nama yang sama dengan tulisan di badan bis milik juragan Wondo.

"Biar anakku gesit dan pandai mencari uang, Sum."
Itu jawaban Sastro ketika istrinya menanyakan nama anaknya.

Karena getar rasa itulah kemudian Sumi menyerahkan diri dan hatinya untuk suaminya seutuhnya. Permainan di ranjang setelah Eka lahir merupaka pertumpahan rasa yang sebenar-benarnya murni kehendak kedua orang tua Eka. Dan akhirnya lahirkah Sugito. Sumi menikmati perjalanan rumah tangganya tidak lagi hanya melakukan sebuah pesan dari orang tua. Tidak lagi murni pengabdian, tetapi ada rasa indah yang mewarnai hari-hari Sumi.

Namun, semua itu berubah setelah Sumi harus datang ke rumah sakit menjemput anak keduanya.

"Mbak Sumi, Sugi tadi ditemukan pingsan di dekat perbatasan sawah Mbah Tik dengan bendungan pengairan."
Seorang tetangga Sumi yang tergopoh memberitahu. Perempuan setengah umur yang sudah hampir delapan tahun menikah belum dikaruniai anak itu sering datang ke rumah untuk bermain dengan anak-anak Sumi.

Dada Sumi bergetar mendengar anaknya bermain jauh dari rumah dibawa ke rumah sakit dan bukan Bapaknya yang mengantar. Lalu kemana Sastro? Yang waktu pergi ijin istrinya mengajak Sugito dan Eka memancing? Kenapa memancing di dekat bendungan pengairan sawah-sawah? Sedangkan bendungan dan hamparan air mirip danau itu yang membatasi sawah-sawah dan perkampungan dengan hutan lebat yang jarang dijamah penduduk sekitar. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua anak Sumi juga suaminya.

Hari sudah hampir meninggalkan sore Sumi baru menyadari jika dari tadi pagi suaminya belum memberi kabar. Hanya Sugito yang tergeletak di rumah sakit. Lalu siapa orang baik yang sudah membawa adik Eka ke rumah sakit beserta pembayarannya. Bahkan ada kembalian.

Sore sudah berganti malam. Sumi sudah selesai sembahyang, membersihkan diri juga mengurus anaknya. Keadaan Sugito sudah membaik dan sekarang duduk di depan televisi bersama ibunya.

"Gik, kamu tadi kenapa ada di dekat bendungan?" tanya Sumi sambil mengupas kacang rebus kesukaan anaknya. Piring kecil di dekat tumpukan kacang rebus sudah berisi isi kacang. Sugito asyik menikmatinya.

"Aku tadi sama Bapak kok."

"Terus... Bapak sama Masmu ke mana?"

"Aku yo nggak tau to, Bu. Aku nggak ingat apa-apa."

"Tapi kamu ingat, kan, diajak Bapakmu ke mana?" kejar Sumi. Anaknya mengangguk sambil mengalihkan tatapan dari layar tipis di depannya ke ibunya lalu mengangguk.

"Kamu mancing apa?"
Sugito menggelengkan kepala.

Sumi terhenyak mendapat jawaban dari anaknya. Kening perempuan itu berkerut.

"Lalu...?"

"Aku sama Mas Eka diajak Bapak masuk hutan," jawab Sugito datar. Tatapanna kembali ke layar televisi.

"Hutan?!" Wajah Sumi langsung mengeras.
Sugito mengangguk tanpa melihat ibunya.

"Apa yang kalian lakukan?"
Kali ini pertanyaan Sumi terdengar khawatir.

"Engngngng ... anu ... Bapak mengajak ... anu ...."

Tatapan Mata Where stories live. Discover now