Bagian 2

1.6K 152 5
                                    

"Aku mau kasih tahu Bang Jundi kalau hari ini sudah banyak dibantu sama Kak Raga. Aku sudah banyak merepotkan."

Raga tersedak sup kepiting yang baru saja dicicipi, akibat membayangkan reaksi Jundi jika tahu kedekatan mereka hari ini.

"Kakak nggak apa-apa?" Aita cemas.

Raga menggeleng. Lalu menyandarkan punggung di kursi untuk mengurangi kepanikan. "Aku rasa kamu nggak perlu kasih tahu Jundi. Sama kayak kamu, dia orangnya nggak enakan, pasti ngerasa aku udah direpotin banget sama kamu. Padahal kan cuma gini. Lagian aku murni ingin bantu kamu saja, senang bisa bantu kamu. Jarang-jarang kan bisa secara langsung bantu Jundi memfasilitasi pendidikan kamu."

Aita berpikir sejenak. Batinnya membenarkan. Jundi akan merasa berhutang budi jika tahu yang sudah Raga lakukan untuknya hari ini. Bisa jadi kakaknya semaki terbebani. Ia mengangguk setuju lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, mengurungkan niat, yang kemudian dibalas oleh Raga dengan senyuman lega.

***

Dapur Aita secantik orangnya. Kitchen set besar yang didominasi warna hitam menjadi sahabat setia Aita sejak mengenyam pendidikan di jurusan boga. Semua tentu tak luput dari tangan Jundi. Apapun fasilitas penunjang pendidikan adiknya pasti dituruti.

Peralatan dapur Aita pun lengkap. Tak sedikitpun Jundi membiarkan adiknya mengalami kesulitan saat menekuni bidang pendidikan yang sesuai dengan passion-nya. Ia bersikeras menyukseskan adiknya, melebihi dirinya, agar bisa mewujudkan impian Aita membuka toko kue ternama di ibu kota.

Jundi merasa -meskipun ayah mereka telah tiada, dan ibu mereka menghilang entah kemana setelah menikah lagi- Aita tetap berhak menerima pendidikan tinggi sepertinya dulu. Ia tak mau Aita merasakan kekurangan karena tak ada orang tua. Apalagi para saudara ayah dan ibu mereka bukan orang berada, kebanyakan dari masyarakat lapisan tengah, yang tak acuh pada kehidupan mereka. Tak seorang pun memiliki kedekatan khusus dengannya maupun Aita. Cukup bertemu sesekali pada acara keluarga. Tak lebih. Lalu mana mungkin yang begitu dimintai bantuan, sudah bisa diterka jawaban demi jawaban.

Sejak sampai kembali di rumah, kecanggungan Aita kembali tampak. Rasanya aneh saat harus berduaan dengan Raga di dalam rumah malam-malam. Meskipun rumahnya terletak di dalam perumahan yang warganya yang tak terlalu peduli dengan sekitar, Aita tetap merasa segan jika hanya berdua bersama lelaki yang tak ada hubungan darah.

“Kak Raga mending pulang nggak apa-apa. Aku nggak apa-apa kok di rumah sendirian,” saran Aita seraya menimbang bahan demi bahan cake.
"Aku diusir?"

"Bukan, bukan gitu," bantah Aita cepat.
"Kamu punya hutang rasa... rasa apa tadi nama kuenya?"

"Butter cake, Kak."

"Yah itu, kamu punya hutang rasa kue itu loh padaku," dalih Raga. "Oke gini, aku nggak akan ganggu kamu masak. Mau jadi penonton saja. Aku akan diam selagi kamu membuatnya, sambil berdoa resepnya berhasil dan besok kamu dapat nilai bagus."

"Amin." Aita bersemangat. Ia tersenyum. Tanpa sadar Raga berhasil membelokkan pikirannya, hingga tak lagi memusingkan sikap canggung dan semacamnya. Mereka akrab.

Sekian lama berkutat dengan mixer, spatula, loyang dan kawan-kawannya, adonan buttercake Aita sudah masuk ke proses pemanggangan.

"Harum banget," puji Raga yang menjadi penonton setia.

"Iya, aku pakai butter yang premium. Agak mahal tapi bisa dipastikan wanginya beda banget dari yang lain," jelas Aita. Ia menarik toples di ujung meja. "Oh iya, ini kacang Thailand buatan aku beberapa hari lalu, Kakak mau?"

Tanpa ragu Raga mencicipi sebutir kacang dari toples yang Aita sodorkan.
"Enak?" Aita harap-harap cemas menunggu ulasan.

"Hm." Raga mengangguk. Rasa pedas manis yang berimbang di mulutnya mendorong jemarinya mengambil lebih banyak dari sebelumnya.

SILAM 18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang