Bagian 3

1.6K 158 12
                                    

"Bang..."

"Hm?"

"Kak Raga itu perokok, ya?" Aita penasaran.

"Nggak." Jundi yakin. Lalu menaruh curiga. "Kenapa? Tumben nanyain Raga."

"Enggak. Kemarin kan Kak Raga ke rumah ambil BPKB mobil showroomnya yang kebawa Abang, terus aku ditebengi ke toko bahan kue. Agak kaget pas melihat dashboardnya ada sebungkus rokok, tapi kak Raga kayak yang buru-buru masukin ke saku gitu. Pas masuk mobil juga aku mencium aroma rokok."

Lelaki bermata bulat itu melirik ke atas. Dagu tirusnya terangkat mengikuti bibir yang mengerut. "Kok Raga nggak bilang dia nebengin kamu."

"Em... Sebenarnya aku nggak boleh bilang ke Abang. Takutnya Abang jadi nggak enak. Takut Abang mikir macam-macam juga kali."

"Cuma ke toko?" Selidik Jundi.

Aita mengangguk cepat lalu memelan. Berbohong. "Emang mau kemana lagi? Lagian Kak Raga udah anggap aku kayak adik sendiri."

Jundi tersenyum menyadari. Mengusik kepala adiknya yang menghindar karena tak suka diperlakukan demikian. Lalu berusaha menajamkan memori. "Lagian kamu juga bukan seleranya Raga."

"Dih! Abang tuh yang mikirnya kejauhan," protes Aita seraya mendorong lengan kakaknya yang sedang menertawakan.

"Kayaknya terakhir kali dia merokok waktu dipaksa tunangan sama Diantri. Waktu itu dia kacau banget sih. Kalau memang dia sekarang merokok lagi berarti mungkin nggak jauh-jauh dari masalah itu."

Aita terdiam. Ia tahu Raga punya tunangan tapi merasa janggal akan suatu hal. Jika memang Raga sedang didera masalah, mengapa lelaki itu tampak baik-baik saja saat bersamanya? Tidak ada tanda-tanda kemurungan. Bahkan ia merasa Raga lebih ramah, lebih menyenangkan dari penilaian awal saat kedekatan mereka sekedar dari sapa menyapa. Lelaki itu tampak bahagia.

Namun bukan di situ poin pentingnya. Ada hal lain yang menjadi fokus Aita.

"Kak Raga terpaksa tunangan? Kenapa, Bang?"

"Kamu belum tahu, ya? Dia terpaksa menuruti keinginan orang tuanya karena--"

"Karena Kak Raga punya pacar kali, ya?" Tebak Aita sok tahu.

Jundi menggeleng. "Raga pernah menyukai Diantri, tapi saat itu Diantri lebih memilih lelaki lain. Giliran udah dicampakan malah nyari Raga lagi."

"Harusnya kan bisa CLBK."

"Laki-laki mana bisa sebucin itu. Memangnya kamu," ledek Jundi.

"Abang ih!"

"Awas aja sampai bucin-bucin gitu ke pasangan kamu nanti. Mencintai cukup sewajarnya, karena kamu itu berharga. Kamu itu hartanya Abang. Siapa pun calon suami kamu nanti, dia harus tahu aturan main jadi iparku."

"Apa sih, Abang? Ngomong apa, coba?" Keluh Aita. “Lanjutin ceritanya Kak Raga tadi aja.”

Jundi menurut. Lanjut menggosok suku cadang mobil yang baru saja dibongkar. "Sayangnya perasaan Raga sudah hilang. Dia bilang nggak ada yang tersisa, perasaan untuk Diantri udah nggak ada secuilpun. Satu-satunya yang membuat Raga mau tunangan ya karena ibunya yang memaksa. Wajar sih ibunya gitu, Diantri kan calon dokter, dari keluarga terpandang. Om Andi, ayahnya Raga, dengan ayahnya Diantri kerja di kampus yang sama, sama-sama profesor pula. Nah dari yang Abang dengar, mayoritas civitas menggadanc ayah Diantri jadi calon rektor."

"Oh..." Aita mengempis. Melemah sebelum menciut. Dirinya hanya secuil dari secarik kertas utuh. Kecil. Begitulah ia merasa jika harus dibandingkan dengan tunangan Raga.

***

"Ada masalah apalagi?" Jundi menangkap basah Raga yang sedang merokok di dekat jendela terbuka, di kantor showroom-nya. Mematikan AC demi menjaga kesehatan sahabatnya. "Eh ngomong-ngomong, makasih kemarin udah ngantar Aita belanja."

SILAM 18+Where stories live. Discover now