Prolog

36 5 0
                                    

Leiden, Belanda

Suara langkah kaki orang orang yang berada di dalam museum Volkenkunde terdengar berderap cukup keras, dimana ada sekelompok mahasiswa yang sedang melakukan tour di dalam museum kini terlihat berlarian, entah karena apa mereka berlari ke luar gedung museum.

"Aku dengar tuan Phillipe datang untuk ikut membeli barang lelangan yang seharga fantastis itu—"

"Aku yakin dia akan membeli lukisan kali ini yang baru saja di datangkan dari Indonesia"

Suara pembicaraan dua orang yang baru saja lewat dengan terburu-buru membuat gadis yang kini berdiri di depan sebuah arca yang di bingkai lemari kaca langsung terdiam. Gadis itu menoleh ke arah dua orang gadis yang tampak seusianya itu menuju pintu ganda yang berada di ujung.

"Hari ini ada pelelangan barang berharga dari seluruh negeri" ucap seorang kurator museum yang berdiri di sebelah gadis bernama Dhiana, gadis bangsawan berdarah Bali yang tinggal di Belanda selama 4 tahun.

"Apa nona tidak tertarik melihatnya?" Tanya kurator itu lagi, ketika melihat Dhiana masih menatap ke arah pintu ganda di ujung museum

Gadis itu berbalik, melihat pria paruh baya yang sudah menjadi kurator museum selama 11 tahun. "Tidak, mari kita lanjutkan"

"Ini adalah arca peninggalan kerajaan Singosari" ucap kurator itu, yang bernama Harlbes.

"Semua barang disini tampak terawat" ucap Dhiana dengan suara rendah tapi masih bisa di dengar oleh pria paruh baya itu.

"Kami menjaganya dengan baik, ini adalah barang berharga yang tidak bisa di nilai harganya"

Dhiana tersenyum mendengarkan, ia juga membenarkan ucapan pria itu. Barang yang sangat berharga ini adalah peninggalan kerajaan, tentu tidak bisa di nilai harganya. Bahkan museum di negaranya tidak sedetail ini merawat peninggalan kerajaan sendiri, tapi negara lain merawatnya dengan baik, Dhiana merasa sedikit prihatin.

"Ini adalah lontar yang berasal dari Bali" ucap Harlbes, saat mereka tiba di depan sebuah lemari kaca yang berisi banyak arsip kuno.

Dhiana mengerutkan keningnya, memperhatikan semuanya dari jarak dekat, ada banyak lontar di sana yang tertata rapi, ada yang masih utuh dan hanya sedikit yang termakan usia. Sepertinya orang-orang di sini benar benar menjaganya dengan sangat baik.

"Apakah itu bisa di keluarkan? Aku ingin membacanya" tanya Dhiana

"Apa nona bisa membaca aksara Bali?" Tanya Harlbes sedikit ragu

"Aku berasal dari Bali" jawab Dhiana membuat kurator museum itu sedikit terkejut

"Itu tidak bisa di keluarkan, tapi kami memiliki salinannya yang bisa di baca-jika nona tidak keberatan menunggu, saya akan mengambilkannya"

"Silahkan, aku tidak keberatan menunggu"

Sepeninggalan sang kurator museum, Dhiana masih berdiri di sana memperhatikan dengan detail setiap lontar yang berada di sana, hingga suara beberapa orang yang terdengar ke telinganya membuat Dhiana beralih.

Ada sekitar enam orang yang menggunakan setelan berwarna hitam kini berjalan berbaris ke arah pintu ganda yang berada tidak jauh dari Dhiana, itu adalah tempat pelelangan yang tadi di bicarakan kurator museum. Diantara enam pria yang berbaris rapi itu ada satu pria yang kini baru saja masuk diikuti oleh satu pria lagi bersetelan hitam sama seperti enam pria yang sudah berbaris itu. Pria yang baru saja masuk itu menggunakan setelan formal dengan dasi yang terikat rapi, kaca mata hitam menggantung di pangkal hidungnya, auranya sangat mendominasi di antara tujuh pria bersetelan hitam.

Mungkin hanya perasaan Dhiana saja, jika pria yang mendominasi itu kini berjalan sambil menatap ke arah dirinya, Dhiana tidak bisa melihat dengan pasti kemana mata pria itu memandang karena matanya di tutupi kaca mata hitam.

Mungkinkah dia salah satu miliarder gila yang akan menghamburkan uangnya hanya untuk pelelangan?

Memikirkan itu Dhiana menggelengkan kepalanya, beberapa orang memiliki selera yang berbeda beda, sama seperti dirinya yang juga sebenarnya menyukai seni sastra dan budaya.

Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya Harlbes kembali dengan membawa gulungan kertas yang merupakan salinan dari lontar yang di abadikan.

"Ini sebenarnya bersifat rahasia, tapi jika ada pengunjung yang berniat membacanya karena mereka bisa, kami tentu akan memberikannya"

Tentu saja kurator museum akan memberikan Dhiana untuk membacanya, itu karena gadis itu membawa surat rekomendasi dan juga tanda pengenal sebagai salah satu anggota club Huis, yang berada di Leiden di tambah lagi gadis itu mengatakan jika dirinya berasal dari Bali.

Dhiana menerima gulungan yang merupakan versi cetak dari lontar kuno itu, dan kini membacanya dengan teliti. Ada beberapa kata yang tidak bisa di baca oleh dirinya dan juga beberapa yang Dhiana tidak tahu apa maknanya.

Setelah beberapa menit membacanya, gadis itu kembali menyerahkan gulungan itu, dan kini kembali melihat ke arah lontar yang berada di dalam lemari kaca

"Tidak semua lontar itu asli, beberapa hanyalah salinan, hanya sedikit yang benar-benar asli di tulis langsung oleh cendekiawan kerajaan yang di beri sebagai hadiah untuk Belanda pada masa itu"

Dhiana hanya mengangguk, ia juga baru mengetahui itu. Yang dulu ia dengar adalah lontar asli di bawa oleh penjajah Belanda.

"Kerajaan di Bali tidak mengijinkan orang Belanda mengambilnya, jadi kami hanya bisa meminjam dan menyalinnya, setelah itu kami mengembalikannya. Budaya orang Bali sangatlah unik hingga membuat orang kami di masa itu tertarik memilikinya"

Mendengar itu Dhiana teringat dengan lontar yang berada di Puri Agung-nya , lontar lontar itu adalah peninggalan sejarah tapi hanya beberapa yang di temukan dan masih di simpan dengan baik, meskipun sudah tampak tua.

Setelah dua jam Dhiana berkeliling dengan di temani oleh sang kurator, akhirnya gadis itu kini telah selesai dan memutuskan untuk pulang, ia juga merasa lelah dan haus. Dhiana berjalan kaki menyusuri jalanan di Leiden, gadis itu berhenti di sebuah monumen di dekat museum Volkenkunde yang berisi tulisan 'Het Verscheid Zonder Thuiskomst' yang berarti 'pergi tidak kembali' situs ini adalah pengingat untuk orang Belanda yang pergi berjuang ke tanah Jawa.

Dhiana tersenyum, banyak situs sejarah yang terletak di Leiden yang sangat erat hubungannya dengan tanah kelahirannya, Indonesia. Gadis itu melihat kedai kopi yang tidak jauh dari sana, buru-buru ia melangkahkan kakinya menuju sebrang.

7 menit menunggu, Dhiana akhirnya mendapatkan kopi pesanannya yaitu Capuccino yang menggunakan paper cup karena gadis itu ingin menikmati kopi sambil berjalan jalan menikmati suasana Leiden di hari terakhirnya disini.

Baru saja Dhiana melewati pintu di kedai kopi itu, tidak sengaja ia menabrak tubuh seseorang yang akan masuk membuat sedikit kopinya tumpah.

"Ah—my bad" ucap Dhiana buru-buru meminta maaf kepada pria berjas hitam dengan setelan formal.

"This is my fault, aku akan mengganti kopimu" ucapnya dengan suara rendah

"Tidak perlu, ini tidak apa-apa, hanya sedikit yang tumpah"

"Biarkan aku menggantinya" ucapnya kembali

"Tidak perlu, Dank u" ucap Dhiana buru-buru menyingkirkan karena banyak orang yang melihatnya dan ingin masuk ke dalam kedai kopi tapi dirinya menghalangi, ia bahkan tidak memperhatikan pria yang barusan menabraknya, karena saking fokusnya pada kopi kesukaannya yang tumpah, gadis itu bahkan menyayangkan gambar tulip yang di buat oleh barista itu di kopinya kini sudah tidak berbentuk.

Bahkan Dhiana tidak tahu jika pria itu, kini masih memperhatikannya. 

.....

*Puri Agung : Istana
*Dank u : Terimakasih

Drink MeWhere stories live. Discover now