Chapter 17 : The Shadow at Midnight

73 18 3
                                    

Seharian ini aku menghindari Zlatan dan menyibukkan diri dengan mengurus negara. Membaca tiap laporan dua kali lebih teliti dari sebelumnya. Mengambil jalan memutar agar tak perlu berpapasan dengan Zlatan. Sengaja berlama-lama berbincang dengan para bangsawan yang mengurus persiapan yayasan khusus perempuan. Dan tidak membiarkan Zlatan mengajakku bicara. Karena aku belum siap jika dia memintaku untuk menjadi Ratunya lagi seterusnya. Aku khawatir pada jawabanku sendiri. Tapi kami berdua memang sama-sama sibuk hingga sisa hari itu tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir kami untuk satu sama lain.

Dan senja tiba begitu saja tanpa terasa. Begitu pun dengan kapal Ratu Anne.

Tepat beberapa saat sebelum matahari terbenam, aku mendapatkan informasi dari David—pengawal kepercayaan Zlatan yang kini menjagaku—bahwa kapal Ratu Anne telah tiba. Namun mereka akan membutuhkan waktu untuk mempersiapkan kapal itu untuk pelayaran kembali terlebih setelah sebelumnya mereka menghadapi badai. Banyak yang harus diperbaiki. Dan persiapan mungkin baru akan selesai saat tengah malam.

"Kita berangkat besok pagi saja kalau begitu." Kata Ruby setelah aku memberitahunya tentang kondisi kapal Ratu Anne saat ini.

"Kau yakin tidak apa-apa menundanya sehari lagi?"

Ruby terdiam sebentar, matanya tampak menerawang. Lalu dia tersenyum tipis dan mengangkat bahu. "Devlin pasti baik-baik saja kan? Memangnya monster mana yang bisa melukainya?"

Akhirnya diputuskan bahwa kami akan berangkat besok pagi-pagi sekali sebelum rapat. Aku bersyukur bahwa paling tidak aku tidak akan berpapasan dengan Zlatan untuk sementara waktu. Aku akan pergi jauh, mengarungi samudra bersama kakakku, mencari Devlin. Kurasa aku memang membutuhkan perjalanan ini, lebih dari pada Ruby.

Malam pun tiba dan masih banyak hal yang perlu kukerjakan sebelum aku meninggalkan tugasku sebagai Ratu selama beberapa hari ke depan karena pelayaranku. Jadi aku pergi ke ruang kerja.

Tidak jadi.

Aku segera berbelok menuju arah kamarku saat melihat punggung Zlatan, tampak membungkuk dan lelah, dengan satu botol ouzo di tangan kanannya, berjalan sempoyongan menuju ruang kerja yang akan kutuju. Zlatan bukan penikmat minuman beralkohol, tapi dia minum saat ada acara khusus, atau saat dia sedang sangat sedih. Kuduga kali ini penyebabnya adalah yang kedua.

Aku menghentikan langkahku di lorong yang menghubungkan antara ruang kerja dengan kamarku. Jika aku berbalik, maka aku akan kembali bertemu dengan Zlatan di ruang kerja. Dan entah apa yang akan terjadi. Tapi jika aku melanjutkan langkahku, maka aku bisa mendapat tidur nyenyak sebelum keberangkatanku.

Aku memilih pilihan kedua dan melanjutkan langkahku menuju kamar.

"Apa kau tak merasakan apa pun padaku? Tidak sedikit perasaan pun?"

Kata-kata itu kembali terngiang saat aku berjalan seorang diri menuju kamarku. Caranya mengucapkan tiap patah kata, serta tatapannya saat menanyakan hal itu padaku. Itu bukan teman sekolahku yang hanya tertarik pada rumus-rumus kimia. Itu adalah seorang pemuda yang rela melakukan apa pun untuk mempertahankanku. Dan aku hendak meninggalkannya.

"Aku membutuhkanmu, Crystal."

Dia membutuhkanku. Dia mencintaiku. Dan aku sudah tahu itu. Aku bahkan tak meragukannya sama sekali. Tapi aku tidak akan bisa memberi cinta yang sama padanya. Aku menyukainya, kuakui, sebagai rekan kerja, sebagai partner, sebagai Raja, sebagai teman. Aku tak suka melihatnya bersedih. Aku akan mendukungnya dan melakukan apa pun untuknya karena dia adalah partnerku. Tapi aku takkan bisa melihatnya sebagai satu-satunya pria yang akan kucintai seumur hidup. Bukan dia.

Dan aku khawatir bahwa itu akan mematahkan hatinya.

***

Rasanya aku baru tertidur selama beberapa jam saat kudengar suara ketukan di jendela kamarku. Para pengawal masih berjaga di luar pintu kamar, tapi memang tak ada yang menjaga jendela.

How To Wake Your Prince CharmingWhere stories live. Discover now