Chapter 28 : Home

79 16 4
                                    

Langit berwarna jingga saat lautan berada ribuan meter jauhnya di bawah kakiku. Jingga berubah menjadi lembayung saat birunya lautan digantikan dengan aneka warna musim gugur.

Aku tidak yakin bagaimana aku bisa mengendarai Griffin dari tengah samudra ke Istana Clairentina dalam keadaan kalut dan sedih, aku tak ingat bagaimana aku bisa melewati perbatasan Clairentina-Zolla yang dipenuhi tentara bersenjata, tapi yang kutahu aku sudah sampai di lapangan Istana, tepat di tengah-tengah keramaian.

Griffin menukik turun untuk mendarat di antara khalayak yang berbaris rapih. Pria dan wanita mengenakan pakaian terbaik mereka, semua berwarna hitam. Dan mereka semua menatapku dengan terkejut sekaligus murka. Aku memperhatikan mereka semua. Air mata di pipi dan wajah muram, bibir pucat. Konon, tak boleh ada yang berias saat upacara pemakaman.

Aku turun perlahan dari Griffin, memperhatikan sekelilingku. Mengamati apa yang tengah mereka lakukan di lapangan dekat taman tempat aku dan Alexandrite pernah bertemu saat malam hari entah berapa waktu yang telah lalu. Aku masih ingat tatapan matanya padaku malam itu, saat warna-warni dalam matanya berkilauan, jauh lebih indah dari permata mana pun di dunia.

Dan aku melihatnya. Sebuah peti mati berwarna putih dengan hiasan emas dikelilingi bunga mawar putih simbol Clairentina. Peti itu tertutup, berada tepat di depan khalayak. Aku, dengan jantung yang seakan sudah berhenti berfungsi saat melihat peti tersebut, memaksakan kakiku untuk melangkah. Aku harus melihat siapa atau apa yang ada di dalam sana.

"Pemanah, bersiap!" kudengar suara yang kukenal dari kejauhan. Itu adalah suara ayah mertuaku. Suara Kaisar. Aku tak tahu dia berada di mana. Aku tak dapat melihatnya di antara banyaknya orang yang ada di lapangan ini. Tapi seluruh pemanah terbaik Clairentina saat ini pasti sedang membidikku.

Petir menyambar di atas langit saat kakiku melangkah kian dekat dengan peti tersebut. Di atas kepalaku, warna lembayung menjadi kian gelap. Awan-awan kelabu berarak, menutupi sisa-sisa cahaya yang tersisa. Angin berhembus kencang, merontokkan dedaunan merah dan oranye di sekitar lapangan ini. Menerbangkan rambut hitamku yang tergerai berantakan di sekitar wajahku.

Suara Kaisar kembali berseru, "Crystal Lenoir! Berhenti di tempatmu!" Tapi tak kuhentikan langkahku. Aku harus melihatnya.

Bagaimana mereka melihatku saat ini? Apa yang mereka lihat? Seorang monster pembunuh yang menghampiri korbannya? Atau seorang istri yang kehilangan suaminya?

Setetes air turun dari langit, mendarat di pipiku, bercampur dengan sisa air mata. Gemuruh guntur memekakkan telinga. Angin berhembus kian kencang. Dan perlahan, tetes-tetes rintik hujan menjadi deras. Semua orang pergi kocar-kacir mencari tempat berlindung dari hujan. Sementara aku mempercepat langkahku menuju peti putih di tengah lapangan.

"Tembak!" Suara Kaisar mengalahkan kerasnya guntur. Dan hujan anak panah pun menerpaku.

Satu mengenai kakiku, membuatku terjatuh. Panah berikutnya mengenai bahu kananku. Aku tak tahu apakah rasanya sakit atau tidak. Aku tak dapat merasakan apa pun selain perih di hatiku.

Belati tak kasat mata mengoyak hatiku. Menghancurkannya dari dalam. Rasa sakit lainnya bukan apa-apa dibanding rasa sakit nan menyesakkan di dadaku. Kucabut dua anak panah yang menancap di kaki dan bahuku, kemudian melemparkannya jauh. Dengan langkah terseok-seok dan hujan yang mengguyur semakin deras, aku melangkah kembali menuju peti yang tertutup rapat itu.

Alexandrite bisa kehujanan kalau peti itu tidak tertutup cukup rapat.

"Aku pulang..." bisikku pada rintik hujan yang mengaburkan pandanganku. Atau mungkin hal lain lah yang menghalangi mataku untuk melihat Alexandrite sekali lagi. "Jangan khawatir. Aku datang untukmu. Maaf membuatmu menunggu lama."

How To Wake Your Prince CharmingWhere stories live. Discover now