Ingin Pulang

225 16 8
                                    

🌹 Happy Reading 🌹

Aina merasa tubuhnya kaku, kepalanya sakit, dan perasaan tak nyaman pada tubuh bagian lainnya. Aina berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat, dia menatap sekelilingnya dengan tatapan kosong. Dia tau di mana dirinya sekarang, sudah pasti di rumah sakit.

Sepi, itulah yang pertama kali Aina rasa. Mata gadis itu berkaca-kaca menahan tangis ketika tak melihat keberadaan satu pun keluarganya. Padahal mereka semua tidak pernah meninggalkan Aina dalam keadaan sakit, lalu sekarang ke mana mereka semua?

"Mama?" Aina berusaha menggerakan tubuhnya. Air mata yang dia tahan sudah luruh membasahi pipinya.

"Mama," panggilnya sekali lagi.

Tangis Aina semakin keras, dia beberapa kali memangil sang papa atau kakak-kakaknya. Aina heran mengapa mereka semua sama sekali tidak datang.

Hingga suara pintu kamar rawatnya terbuka, Aina sesegukan dia menatap pintu kamarnya dengan tatapan kesal bersiap akan memarahi keluarganya yang tidak menemaninya dalam keadaan seperti ini.

Namun di luar dugaan, seseorang yang datang bukanlah salah satu anggota keluarganya melainkan orang yang tidak Aina kenal.

"Mana Mama?" tanya Aina. Dia menatap penuh harap pada pintu, namun tidak ada lagi orang yang datang.

"Drama amat sih?!" Aina semakin memanyunkan bibirnya, matanya kembali berkaca-kaca.

"Mana mama aku?" tanyanya lagi.

"Stop Jana!" Aina tersentak kaget mendengar bentakan dari pria yang tidak dia kenal itu. Akhirnya Aina memilih diam dan berusaha menahan tangis.

"Setelah lo nyelakain Mama lo masih bisa nyariin mama?!" Aina menggeleng.

"Mama kenapa?" Decihan sinis terdengar dari pemuda itu.

"Sialan lo!" Aina menunduk dalam. Merasa takut dengan pemuda asing di depannya. Tetapi dia masih penasaran, kenapa dia dituduh menyelakai mama.

"Kenapa elo enggak mati aja sih?" Suara pemuda itu kembali terdengar. Hal itu sukses melukai hati Aina.

Mau bagaimana pun Aina terbiasa hidup penuh kasih sayang, dia merasa terkejut saat ada orang mengatakan hal yang tidak baik pada dirinya seperti ini. Siapa pun Aina ingin bertemu keluarganya.

"Jana." Aina menatap heran.

"Jana siapa?" tanyanya.

Kali ini bukan hanya Aina yang bingung, tetapi pemuda di depannya yang langsung menampilkan wajah tak bersahabat.

"Dari tadi kamu manggil aku Jana, kamu salah orang? Aku ini Aina!" Aina akhirnya membuka suara. Dia sejak tadi curiga dengan tingkah pemuda yang sialnya tampan itu.

"Gausah main-main sama gue ya!"

"Kamu kenapa sih dari tadi marahin Aina, mama Aku aja enggak pernah marah. Liat aja kalau mama aku tau pasti kamu bakal dimarahin!" Aina berteriak kesal.

Aina bangkit dari ranjang, melepas infus dengan paksa. Dia tak bisa terus berada di dekat orang asing yang menyebalkan seperti ini. Dia ingin mencari mama dan papanya.

"Jana!" Aina meringis saat dengan kasar pemuda dengan jaket kulit hitam itu menariknya kasar hingga Aina hampir terjatuh. Mau bagaimana pun kondisi Aina saat ini belum benar-benar pulih.

"Lo mau ke mana, beban ya lo! Setelah pura-pura amnesia sekarang mau kabur gitu aja?!"

"Aku bilang aku bukan Jana!" Aina menepis tangan pemuda itu. Tanpa dicegah air matanya langsung luruh begitu saja.

"Dari tadi kamu nyebelin ya, aku bukan Jana!"

"Enzo!" Enzo pemuda yang sejak tadi memarahi Aina menoleh saat seorang wanita baya masuk ke dalam ruang rawat Aina.

"Mama?" Enzo melepaskan Aina, membantu Natalie sang ibu untuk berjalan.

"Kenapa?" tanya Natalie heran. Apa lagi melihat Aina yang masih menangis dengan sesegukan.

"Mending kita bicara di luar, Ma." Natalie mengangguk. Lalu keduanya ke luar meninggal Aina yang langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa.

Namun Aina tidak sengaja melihat pantulan dirinya di cermin kecil yang tergeletak di meja. Aina mengambilnya dan menatap pantulan wajahnya dengan tatapan kosong.

"Ini?" Aina kehabisan kata-kata. Dia hanya bisa menutup mulut dan menjatuhkan kaca kecil itu hingga hancur berkeping-keping.

"Bagaimana bisa?" Aina menyentuh wajahnya dan seluruh tubuhnya. Dia menyadari satu hal, bahkan ini bukan tubuhnya.

"Aku—" Aina menatap sekelilingnya dengan perasaan panik.

Dia menyadari satu hal, apa lagi sejak tadi ada orang asing yang memanggilnya Jana alih-alih Aina. Kecurigaannya bertambah besar karena tidak ada kedua orang tuanya. Karena Aina yakin kedua orang tuanya tak mungkin meninggalkannya begitu saja.

Aina melangkah menuju toilet untuk memastikan satu hal. Hingga tubuhnya langsung membeku ketika melihat bukan dirinya yang berada di pantulan cermin.

Aina memegangi kepalanya yang seketika terasa sakit dan berat. Pandangannya buram, Aina meringis berusaha menahan rasa sakitnya yang bertambah parah. Hingga beberapa detik berikutnya kesadaran Aina hilang.

***

Aina hanya mampu diam di atas bankar dengan tatapan kosong. Dia tak bisa berpikir jernih, bahkan menangis pun rasanya tak mampu.

Bagaimana bisa jiwanya berpindah pada tubuh seseorang yang sama sekali tak dia kenali. Apa lagi sama sekali tak ada ingatan yang tersisa di kepalanya tentang gadis yang bernama Jana ini. Namun pastinya Aina yakin semua tidak akan berjalan lancar apa lagi ketika melihat dua orang asing tadi yang terlihat begitu membencinya.

Aina mengacak rambutnya kesal. Dia tidak tau bagaimana keadaannya di tubuhnya sebelumnya. Bagaimana kedua orang tuanya di sana.

"Mama," lirih Aina sedih.

Dia yakin pasti semua anggota keluarganya merasa terpukul. Bagaimana dengan sang papa yang begitu menyayanginya. Apakah di sini Aina dapat merasakan semua itu lagi.

"Aku mau pulang." Tangis yang sejak tadi ditahan akhirnya pecah. Aina menangis sekeras mungkin melampiaskan perasaan kacaunya.

Aina tidak tau bagaimana kehidupannya setelah ini. Dia tidak dapat membayangkan hidup tanpa kedua orang tuanya di tempat asing dan orang-orang asing seperti ini. Aina hanya ingin pulang dan menjalankan hidup seperti biasanya.

Jangan lupa vote dan komen

Transmigrasi Dua Jiwa Where stories live. Discover now