11. Dia Kembali

176 92 6
                                    

Bila ada typo, tolong tandai.
HAPPY READING!

– Illa Wardoyo –
















































“Tidak perlu kembali jika kamu hanya membawa kenangan buruk.”

◇─◇──◇─────◇──◇─◇

Seorang wanita berusia 40-an turun dari mobil mewah berwarna hitam. Dari penampilannya, ia bisa dibilang orang berada. Bahkan, pakaian serta aksesoris yang ia kenakan dari atas sampai bawah merupakan barang mahal dan bermerek.

Wanita itu melepas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Menatap toko kelontong yang berada di depannya dan bergumam, "Benarkah ini rumahnya?" Lantas mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. "Tujuh belas tahun sudah berlalu. Kampung ini banyak yang berubah," gumamnya lagi.

Perlahan, wanita itu melangkahkan kakinya menuju ke dalam toko kelontong itu. "Permisi," ucapnya. Hingga salah satu pegawai di toko kelontong itu menghampiri wanita tersebut. "Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Jana—pegawai toko kelontong itu dengan ramah.

"Saya ingin bertemu dengan pemilik toko kelontong ini."

"Maksud Ibu, Pak Gahari?" tanya Jana memastikan. Wanita itupun mengangguki pertanyaan Jana. "Baik, Bu. Tunggu sebentar, ya. Saya panggilkan Bapak dulu."

Tidak menunggu lama, dari arah gudang, Jana keluar bersama Gahari. "Saya tinggal dulu, ya, Pak? Permisi," pamit Jana agar tidak menggangu pembicaraan kedua orang itu.

Pandangan Gahari dan wanita itu bertemu. Gahari mengerutkan keningnya. "Kamu?" Gahari memasang raut wajah tidak suka pada wanita itu. Ditatapnya wanita itu dari atas sampai bawah. Gahari salah fokus pada penampilan wanita yang berada di hadapannya.

"Mas Gahari, masih mengingatku?" wanita itu tersenyum ramah. Membuat Gahari mengepalkan tangannya dengan kuat.

"Bagaimana aku bisa melupakan seseorang yang telah menghancurkan kehidupan Adikku? Mau apa lagi kamu ke sini?" dada Gahari naik turun. Ia begitu membenci wanita yang berada di hadapannya ini. Gahari berani bersumpah, ia benar-benar tidak sudi jika wanita itu menginjakkan kakinya di rumahnya ini.

"Bukankah kamu bilang, kamu benci hidup susah di kampung ini? Lantas, kenapa kamu kembali lagi?" Gahari melanjutkan ucapannya. Kini, wanita itu terdiam seribu bahasa. Tiba-tiba bibirnya terasa kelu. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Gahari.

Gahari menghela napas panjang. "Lebih baik kita bicara di dalam saja. Tidak enak jika ada yang melihat kita berdebat di sini." Gahari lebih dulu masuk ke dalam rumahnya. Disusul wanita itu dari belakang, mengekori Gahari.

Sesampainya di dalam, Gahari mempersilahkan wanita itu untuk duduk di kursi kayu miliknya dan pergi ke arah dapur untuk membuatkan minuman. Semoga saja Gahari tidak mencampurkan racun ke dalam minuman itu. Semoga saja.

Berbeda di ruang tamu, wanita mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah Gahari. Rumah Gahari tidak terlalu besar, tapi, cukup nyaman untuk ditinggali. Tidak banyak yang berubah, paling-paling hanya dinding yang dicat ulang dan letak perabotan yang dipindah. Terkahir kali ia masuk ke rumah ini, juga 17 tahun yang lalu. Sudah begitu lama, bukan?

Peluk Aku, ya, Pak?Where stories live. Discover now