Bab 35. Gosip Menyerang!

260 33 3
                                    

Bismillah,

"Aku mesti bilang gimana, Ay?"

"Bilang gini, Satrio aku cinta sama kamu. Kita nikah yuk." Aya menatap Sinar sambil mengedip-ngedip genit.

"Ngaco!" pekik Sinar sambil melempar bantal pada Aya.

Aya tertawa lebar dan melempar kembali bantal pada Sinar. "Emang Kakak maunya bilang gimana, sih?! Jangan kebanyakan mikir, ini bukan lagi nulis artikel ilmiah," ledek Aya.

Sinar memutar bola matanya, lalu menghempaskan tubuh ke kasur dan menutupkan lengan ke wajahnya. Sejak tadi dia bingung bagaimana harus menjelaskan pada Satrio. Senin lusa waktu 120 hari pdkt Satrio habis, dan Sinar tidak ingin 'kedekatannya' dengan Satrio berakhir.

Sialnya, dia bodoh dalam hal berkomunikasi. Sehingga tidak tahu bagaimana harus memberitahu Satrio kalau dia ingin memberi kesempatan. Aya yang malam ini sedang menginap karena kabur dari Niko, seperti biasa, adalah sasaran yang tepat untuk dimintai saran.

"Kalo bingung melulu kapan ngomongnya, Kak?! Temuin aja, terus tembak!" goda Aya yang sekarang ikut berbaring di samping Sinar.

Sinar menghembuskan napas sambil menatap langit-langit kamarnya. Sunyi karena Aya sudah berhenti tertawa. Suara jangkrik dan hembusan angin musim kemarau yang meramaikan suasana Sabtu malam itu. Dari jendela samping yang menghadap ke taman kecil, desiran angin menelusup perlahan. Membuat Sinar dan Aya menggigil sesaat.

"Kak." Panggilan Aya memecah sepi.

"Hm."

"Kakak ada perasaan ya sama Satrio?"

"Enggak tahu," sahut Sinar datar.

"Kalo enggak ada perasaan kenapa harus bingung gini, sih, Kak?! Tinggal ditolak aja, kan. Kaya Kak Sinar biasanya."

Sinar mengacak rambutnya mendengar ucapan Aya. Terlepas dari tingkah kekanakan dan menyebalkan Aya, ucapannya seringkali benar dan menohok. Masalahnya dia terjebak kebingungan sendiri. Apakah yang dirasakannya pada Satrio sekadar simpati karena merasa nasib mereka sama, atau memang cinta. Di sisi lain ada ajakan rujuk Benny yang terus terngiang dan membuat Sinar ragu.

Siang tadi mantan suaminya menjemput Rafa dari sekolah, mengajak bocah sembilan tahun itu makan dan bermain sebentar. Setibanya di rumah, Sinar bisa melihat betapa Rafa luar biasa senang. Bahkan bocah itu masih berdiri di teras beberapa saat setelah Benny berlalu. Ditambah lagi sesorean tadi, Rafa tidak berhenti bercerita tentang apa saja yang dilakukannya bersama Benny.

Sungguh, itu membuat Sinar trenyuh. Menyadarkannya kalau Rafa masih berharap dia dan Benny bisa bersama lagi.

"Satrio orang baik, Kak. Dia enggak brengsek kaya Benny!" celetuk Aya sambil mendengkus.

"Sok tahu," balas Sinar.

"Aku bisa mendeteksi laki-laki brengsek dari jarak jauh, Kak. Emangnya Kak Sinar yang super lugu. Lugu sama oon beda tipis loh, Kak," cerocos Aya.

"Jangan kurang ajar sama Kakak sendiri." Sinar menarik rambut Aya, tapi adiknya malah terkekeh.

"Kakak mau tahu dari mana aku belajar membedakan laki-laki brengsek sama enggak?" sambung Aya.

Masih dengan posisi berbaring, Sinar menoleh pada adiknya. Dua alisnya bertaut.

Aya tertawa pahit. "Punya Ayah brengsek ada manfaatnya, kan, Kak?!"

Mendengar itu Sinar tertegun. Dia tidak lupa kalau Ayahnya berselingkuh dan sudah bertingkah brengsek, tetapi sejak bertemu Satrio ingatan itu sempat menguap. Dia lebih fokus memerhatikan Satrio dan segala kerepotannya menjadi Ayah tunggal. Satu pikiran tiba-tiba muncul di benak Sinar. Satrio memiliki luka yang sama dengannya, tetapi lelaki itu tidak repot mengutuk dan membenci Sandrina. Lelaki itu juga tidak membela diri dan menyalahkan mantan istrinya. Satrio bahkan lebih sering tersenyum dibanding dirinya, padahal beban yang ditanggungnya sama dengan Sinar.

One Twenty DaysWhere stories live. Discover now