1. HARI PERTAMA

123 77 160
                                    

     Sudah lewat sebulan namun rasanya seperti masih berada pada hari pertama. Entah apa karena dirinya yang tak terlalu ingin membuka mata dengan apa yang ada di sekitarnya apalagi mencoba hal baru. Petricia Mika hanya ingin kehidupan yang berjalan seperti manusia pada umumnya saja. Tidak ingin ada yang spesial atau sesuatu luar biasa, tapi dirinya memilih sebuah keputusan yang sama sekali tidak Cia suka.

Seringkali Cia mewanti-wanti sikap impulsifnya, tapi dia selalu saja lupa.

Kini sudah sebulan, namun masih tidak tahu di mana letak Tata Usaha di sekolahnya. Punya teman atau kedekatan dengan teman saja Cia sama sekali tidak berminat. Tadi pagi dia dipanggil untuk mengambil seragam barunya di TU. Dalam hati, dirinya berusaha tidak mengeluh jika dia harus pergi sendiri mengambil seragamnya.

Gak boleh manja, gak boleh bergantung sama orang lain.

Kadang-kadang kalimat itu yang menguatkan Cia hingga detik ini.

Lalu sebuah lambaian tangan ditujukan untuknya. Cia awalnya tidak mengerti, namun gadis itu menunjuk dirinya sendiri untuk menegaskan siapa yang orang itu panggil. Ketika yang melambai tangan kepadanya mengangguk, Cia menoleh ke atas plang bertuliskan Ruang Tata Usaha tepat di atas kepala orang itu.

Ingin menepuk jidat rasanya.

Beberapa kali Cia sudah mengitari sekolah mencari ruangan itu, maklum, sebenarnya Cia punya mata minus. Dan hari ini dia tidak membawa kacamata atau lensa kontak sama sekali akibat bangun kesiangan.

"Anak baru, nyari ruang tata usaha kan? Mata lo emang ke mana sih."

Cia diam saja meski bibirnya meringis sedikit. Nervous membanjiri seluruh tubuhnya, benar-benar memalukan bagi Cia. Pantas saja ada siswa yang ia tanya namun menjawab pertanyaan Cia hanya sekadar, 'sebelah kiri, pintu kayu, deket lab. IPA'.

"Lama banget gue nunggu lo, Bu Della sampe nyamper ke kelas tapi lo ga ada. Ngilang ke mana coba."

Cia melihat seseorang yang mengomel-ngomelinya terus daritadi. Sebentar, sepertinya dia tahu siapa gadis ini. Tapi Cia lupa namanya...

"Karena Bu Della akhirnya ada urusan karena kelamaan nunggu lo, gue yang bakal nyampein amanatnya. Ini ada 3 style baju di SMA Bina Karya. Saran gue sebaiknya lo beli rompi dua karena ni rompi lebih sering dipake daripada seragam yang lain. Mampus kalau bosen liat anak SMA Bina Karya make rompi yang itu-itu aja tiap ke sekolah, tapi itu ciri khas sekolah kita," ucap Lyla panjang lebar. Sementara Cia manggut-manggut saja sembari menerima seragam barunya.

Akhirnya dia tidak lagi menggunakan seragam sekolahnya yang dulu.

"Thanks," jawab Cia singkat sebelum balik badan.

"Eh, eh bentar, deh."

Cia menghentikan langkah lalu balik badan lagi, "Kenapa ya, kak?"

"Buset kita sekelas lo bilang kak! Sebulan di sini masih ga kenal gue?"

Oh, ya! Magnolia Lyla setelah Cia membaca name tag-nya. Sumpah, deh. Cia makin yakin kalau dirinya oon kelewatan.

"Ini tandanya kita bener-bener harus pendekatan, sih." Lyla tiba-tiba saja merangkul Cia. "Gas temenin gue ngantin."

"Bajunya—"

"Dibawa dulu aja, gue males liat kelas. Lo pusing juga kan sebenernya."

Memang, ada beberapa siswa maupun siswi di kelas mereka yang doyan konser, eksperimen, dan lain sebagainya disaat jam istirahat seperti ini.

Ngomong-omong, jangan tanya keadaan Cia, gadis itu sedang mengutuk dirinya sendiri saat ini sambil membuntuti Lyla.  Sebenarnya Cia merasa kalau dirinya tidak begitu bego soal teman, dia hanya perlu waktu menghafal mereka masing-masing. Bahkan, di sekolah ini hanya Arin yang Cia kenal sebagai saudara sepupunya di kelas lain.

Maka dari itu, selama Cia dinobatkan sebagai warga baru di SMA favorite SMA Bina Karya, Cia sering kabur ke kelas Arin, ke mana-mana hanya dengan Arin apalagi saat jam istirahat.

Hanya kebetulan hari ini Cia pembagian seragam dan Arin sedang ada kegiatan ekskulnya. Mereka jadi tidak bersama.

Saat ini, suasana kantin sedang tak begitu ramai. Biasanya menunjukkan jika jam istirahat sudah mau selesai makanya beberapa siswa sudah pergi. Letak kantin dengan anak kelas sebelas lumayan jauh karena melewati lapangan basket dan gedung kantor sekolah. Jangan salahkan Cia jika dia masih suka nyasar, sekolahnya besar asal kalian tahu.

Berbanding terbalik dengan kondisi sekolah Cia sebelumnya.

"Nih ya, lo udah kenal Aries?"

"Aries?" ucap Cia menunjukkan wajah bingungnya.

"Oh belum, ya?" Lyla tiba-tiba saja menyeret Cia ke sebuah kursi kantin yang sudah ada seseorang yang sedang menikmati es milo dan sandwichnya dengan santai.

Mereka berdua duduk di sampingnya, namun orang yang sedang menikmati makanan itu hanya cuek saja.

"Ariesss. Anak baru nii," ucap Lyla seraya menarik tangan Aries agar tidak jadi melahap makanannya.

"Ya, terus kenapa?" Tetapi pria yang dipanggil Aries itu berusaha tidak terkecoh dengan tingkah laku Lyla. Bahkan Aries hanya menoleh singkat ke arah Cia.

Sementara Cia hanya diam tak berkutik dengan bungkusan berisi baju seragamnya. Bayangkan saja jika kalian menjadi Cia, bukankah situasi yang seperti ini sangat sangat awkward? Bingung harus berbuat apa dan apa yang sedang terjadi di sekitar sini sebenarnya.

"Kenalan lah."

Mendengar perintah Lyla membuat Aries mengulurkan tangannya pada Cia. Dia mau melakukan itu agar Lyla tidak mengganggunya terus-terusan saja. Bibir Aries masih mengunyah namun berusaha mengucapkan sepatah kata pada Cia, "Salken gue Aries."

Baru saja Cia hendak menerima uluran tangan itu, sebuah tangan lain menahan tangan Cia. Membuat Cia mendongak untuk melihat siapa pelakunya, Arin muncul tiba-tiba.

"Eh, Ci, ikut gue yuk."

"Yaampun, Kak Arin dari mana aja," ucap Cia melihat sosok familiar itu. "Duluan ya, La. Makasih udah ngajak ngantin."

Lyla tidak menahan mereka berdua, gadis itu justru tersenyum dan bersikap ramah sekali pada Arin dan Cia hingga mereka hilang dari pandangannya.

"Gue tau lo sekelas sama Lyla. Bahaya deh kalau mulai bertemen sama
dia." Arin membuka percakapan di tengah-tengah perjalanan mereka menuju kelas masing-masing.

Cia mengerutkan kening, "Emangnya kenapa kak?"

Arin berhenti dari langkahnya yang mmebuat Cia mengikuti, kemudian menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Pokoknya jangan. Apalagi dia tadi ngenalin lo sama Aries. Gak enak firasat gue sama lo, Ci."

Cia makin tidak mengerti dengan maksud yang diucapkan saudaranya. Gadis itu hanya memegang erat-erat seragam sekolah barunya.

Sebenarnya letak kelas anak dua belas tidak begitu jauh dari kantin. Makanya, Arin behenti karena dia sudah sampai di depan pintu kelasnya. Sementara itu, berarti Cia tinggal melanjutkan perjalanan ke kelasnya sendiri sebelum Arin kembali bicara,

"Asal lo tau ya. Bahkan sebagian siswa di sini banyak yang ngga suka sama Lyla."

THE PRIVILEGEWhere stories live. Discover now