2

448 39 2
                                    

Dhara sudah mengenakan gaun hitam polos miliknya. Tidak dia sangka gaun yang begitu dibencinya akan dia pakai di acara pemakaman tuan Alen. Dhara merasa tuan Alen membelikannya karena dia tahu cepat atau lambat Dhara akan memakainya.

Dhara menatap dirinya dengan seksama. Melihat bagaimana gaun itu begitu terasa menyedihkan perasaannya.

"Nona?"

Dhara mengangkat pandangannya, melihat Ellis yang berdiri di depan mobil yang terbuka kacanya. Mereka sudah ada di makam, tapi mayat tuan dan nyonya Alen belum tiba. Jadi mereka menunggu.

"Pemakaman akan segera berlangsung. Anda mau turun?"

Dhara menarik napasnya kuat dan menghembuskannya perlahan. Dia mengangguk kemudian.

Ellis mengulurkan tangan dan Dhara menyambutnya dengan cepat. Mereka berpegangan tangan. Pintu mobil terbuka lalu Dhara keluar. Dia berjalan ke arah pemakaman.

Masuk ke area dengan banyaknya gundukan tanah itu membuat Dhara semakin merasa tidak siap. Tapi kali ini dia tidak bisa menemani ketakutannya bermain. Dia ingin mengantarkan tuan Alen untuk terakhir kalinya. Kalau tidak sekarang, maka Dhara tidak akan pernah bisa melakukannya.

Tiba di sebatang pohon besar nan rindang, Dhara berhenti. Dia menatap ke depan sana dan tepat di sana prosesi pemakaman sedang berjalan. Dhara bisa melihat dua peti yang sudah dimasukkan ke liang lahat.

Airmatanya jatuh deras. Satu tangannya membekap mulut sementara tangan lainnya menekan batang pohon besar itu dengan kuat. Dhara merasa begitu tidak berdaya. Dia ingin jatuh tapi Ellis membantunya tetap tegak.

"Anda tidak apa-apa?" tanya Ellis memastikan.

Dhara menggeleng. Dia belum mau beranjak sebelum seluruh pemakaman itu berakhir. Dia ingin menyaksikannya sampai akhir.

Setelah kuburan itu benar-benar diratakan dengan tenah, seluruh ketenangan Dhara mulai menguap, gadis itu jatuh ke lantah dan menekan tangannya pada rumput di dekat tangannya. Satu tangannya sibuk memegang dadanya yang terus berdentum sakit.

"Nona, ayo, saya akan membantu anda bangun. Kita kembali ke mobil dan pergi."

Dhara berusaha mengatakan tidak, tapi dia terlalu lemah untuk bersuara.

Sampai seseorang datang menghampiri mereka. Dhara mengangkat pandangannya dan menemukan pria asing berdiri di depannya. Dhara menatap Ellis, mempertanyakan siapa pria di depan mereka. Tapi Ellis memberikan gelengan. Sama tidak tahunya.

"Tuan muda ingin bertemu dengan anda."

Dhara sudah kepayahan berdiri dan mencari ke mana dia akan melarikan diri. Dia harus lari.

Tapi suara lain menginterupsi pemikiran Dhara.

"Kita harus bicara, Wanita Malam."

Dhara berbalik dan menatap sosok itu, merasa lega karena ternyata sepertinya tuan muda yang dimaksud pria tadi adalah pria yang berdiri di hadapannya sekarang dengan keangkuhan dan kesombongan. Seolah dunia yang dia pijak adalah miliknya. Dan Dhara menjadi musuh bagi dunianya.

"Takut bertemu denganku, Wanita Malam?"

Dhara memberikan anggukan sopan. "Anda tidak menyebut saya pelacur sudah menjadi kehormatan bagi anda. Panggilan sopan anda membuat saya lebih baik."

"Itu adalah sarkasku untukmu. Mungkin kau tidak mengerti."

"Saya tetap bersyukur."

Kedua tangan pria itu terkepal. "Aku Roland. Mungkin ayahku pernah membicarakannya."

"Tuan Alen selalu membanggakan anda. Selalu."

"Dulu akan terdengar menyenangkan mendengar dia membanggakan aku. Sekarang aku hanya merasa jijik. Jika saja aku bukan anaknya, aku tidak akan pernah sudi menguburkannya dengan layak. Setelah apa yang dia perbuat pada wanita yang aku cintai."

"Saya mengerti." Dhara menahan desak airmatanya.

"Grove, tunjukkan jalan bagi nona kita di mana kami harus bicara," perintah Roland pada orang kepercayaannya.

"Baik, Tuan Muda." Grove mempersilakan. "Lewat sini, Nona."

Dhara menatap ragu pada langkah yang ingin dia ambil, tapi dia tidak memiliki alasan berlari pergi. Setidaknya, Roland datang dengan damai dan mereka harus bicara.

Selingkuhan PapaWhere stories live. Discover now