Hampir setengah hari ini aku menghindari Agrav. Bukan tanpa alasan, tapi karena memang aku belum terpikirkan apapun untuk membantunya menyelesaikan masalah dengan Joe.
Setiap bertemu dengan lelaki itu, dia pasti selalu menagih jawabanku dengan pertanyaan sama yang selalu dilontarkannya. ‘Gimana jawaban, Joe?’ atau ‘Joe udah jawab? Apa katanya?’ Astaga. Kepalaku pening.
Lagipula aku baru saja berbaikan dengan Joe. Jadi tidak mungkin aku akan membuat keributan lagi dengannya. Hantu bule satu itu ternyata gampang sekali ngambek alias baper seperti remaja zaman now.
Kalau saja dia tahu aku berencana membantu Agrav, dia pasti akan meledak lagi. Perpustakaan inipun bukan tempat yang biasa kukunjungi saat istirahat. Tentu saja, siapa orang gila yang mau menghabiskan waktu istirahat berharganya—yang bahkan tak lebih dari satu jam—bersama buku-buku setebal dosa, sedangkan dia bisa saja mengenyangkan perutnya dengan makanan enak di kantin.
Stevia pernah bilang kalau sepupunya itu tidak suka dengan yang namanya buku. Apalagi buku-buku tua—setua penjaga perpustakaan ini—dan berdebu. Jangankan menyentuhnya, melihat saja dia langsung lari. So, perpustakaan ini jadi tempatku bersembunyi dari Agrav.
Jangan heran, walaupun aku jarang sekali ke sini, tapi aku memilki kartu anggota perpustakaan. Bagaimana bisa? Ooh, akan kujawab kalau saat itu aku sedang khilaf. Iya benar, khi-laf.
Jadi begini, waktu itu aku mendapat nilai—yang sebenarnya sangat menyeramkan—di bawah rata-rata saat ujian Kimia. Jujur saja, aku benar-benar tidak menyukai mata pelajaran satu itu. Dan—dengan kebaikan hatinya yang tiada tara— guru kimiaku itu meminta agar aku meminjam beberapa buku Kimia di perpustakaan. Dengan bantuan Rama—siswa paling pintar di kelasku yang sering bolak-balik perpustakaan bagai rumah kedua—akhirnya buku-buku itu sekaligus kartunya bisa dengan mudah kudapatkan. Tapi naas, buku-buku setebal dosa itu hanya berakhir menjadi bantal. Ya, kira-kira begitulah ceritanya.
Kembali ke masa sekarang. Di depan rak berisi kumpulan novel yang terpajang indah, mataku menelusuri satu persatu buku paling tebal dan akhirnya—dengan setengah sadar—buku itu kupinjam lalu akan kujadikan sebagai bantal tidur lagi. Hehe...
“Jadi bener kamu di sini?”
Gezz! Aku benar-benar terkejut dengan suara itu. Astaga! Bisa-bisanya dia muncul di saat-saat begini. Untung saja aku tidak menjatuhkan buku supertebal yang susah payah kupeluk ini.
“Kirain kamu ke mana tadi.”
Setengah hati, akhirnya kuangkat kepala dan menatapnya seolah tak terjadi apa-apa. Kuberikan senyum kecil. Ya, setidaknya aku harus menunjukkan kalau aku bersikap seperti biasa dan bukannya menghindar.
Tepat di depan rak buku, dia menyandarkan tubuhnya di sana, menyilangkan tangan dan tersenyum menatapku. “Tadi aku ke kelasmu, tapi kamu gak ada.” Ucapnya sambil berjalan ke arahku yang hanya berjarak beberapa langkah. Senyumnya kian lebar. “Aku ketemu Stevia di kantin, dia bilang mungkin kamu di perpustakaan. Makanya kususul ke sini.”
![](https://img.wattpad.com/cover/109770917-288-k510437.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...