PART 4

21 13 3
                                    

Hari kedua Galen di SMA Pertiwi. Pelajaran pertama di hari kedua adalah pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan. Hari ini di kelas 11 IPA 2 akan mengadakan pengambilan nilai lompat jauh. Sebelum pengambilan nilai di lakukan para murid melakukan gerakan senam yang dipimpin langsung oleh Pak Reno.

Jauh dari tempat murid 11 IPA 2 berada. Seorang murid melihat mereka lebih tepatnya melihat salah satu dari mereka. Maurel Revanya, dia sedang melihat Galen sehingga lupa tujuannya ke kelas. Dia melupakan ulangan harian yang berlangsung di kelasnya.

“Untung bawa handphone.” Dikeluarkannya handphone itu dari saku seragam putih. Vanya menekan aplikasi kamera, memfokuskan ke arah Galen. Meski wajah Galen tidak begitu kelihatan jelas, seenggaknya kelihatan gaya tubuhnya yang melakukan gerakan senam.

“MAUREL REVANYA!” teriak Pak Reno.

Vanya kaget handphonenya hampir terlepas dari tangan. Dimasukannya handphone ke dalam saku kembali. Langsung mencabuti rumput kecil yang tumbuh di sekitar pohon kiara payung.

“Ngapain kamu, di sana?”

Vanya mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Pak Reno. “Ini Pak anu ... itu saya lagi nyari anak ayam,” jawab Vanya ngasal paniknya takut ketahuan.

“Anak ayam? Anak ayam apa?”

“Ya, anak ayam. Anaknya ayam.”

“Kamu sekolah bawa anak ayam?”

“....”

“Sudah sana masuk ke kelas, kamu!”

Perempuan itu merasa terusir, memberi pandang tidak suka. Laki-laki yang ingin dia lihat pagi ini sama sekali tidak memperlihatkan wajahnya. Seolah sengaja. Namun, perasaan senang menyapanya pagi ini usai melihat tubuh laki-laki itu saja. Itulah cinta. Semua yang dipandang dari yang dicintai akan menciptakan perasaan senang.

Sesampai di kelas, Vanya di tanya oleh Bu Wiwik, guru Bahasa Indonesia. Dari mana saja? Hampir dua puluh menit lamanya meninggalkan kelas sedangkan sepuluh menit lagi ulangan harian akan berakhir. Vanya melirik sahabatnya, Anjani.

“Sudah selesai?” tanya Vanya melihat tidak ada satu pun kertas di atas meja Anjani.

“Sudah, dong. Kamu sih ke toilet saja lama banget,” ucap Anjani, dua tangannya terangkat jari-jari terkepal, menggoyang-goyangkan kedua tangannya beberapa kali. “Semangat, Vanya.”


***


“Aku selalu mendukung kamu, Van. Kamu itu sahabat aku,” kata Anjani.

Anjani baru saja mendengarkan kejujuran hati Vanya, yang bertahun lamanya di pendam. Vanya juga melihat foto-foto Galen yang tersimpan di galeri handphonenya.

“Pokoknya jangan di lepas. Kalau ada kesempatan ungkapin. Nggak mungkin kan kamu ngecrushin ini cowok, tetapi tidak memberi kesempatan hati kamu untuk jujur.” Anjani menelan bakso yang sudah hancur di dalam mulutnya.

“Itu pasti. Tapi aku belum bisa memastikan kapan untuk mengungkap perasaan ini.” Perasaan takut, dalam dirinya membuat Vanya belum berani mengutarakan perasaannya.

Anjani, berdiri. Mau ke toilet. Perutnya tiba-tiba sakit. Ini karena terlalu banyak  makan yang pedas-pedas. Anjani, tidak bisa berkata apapun. Dia berlari meninggalkan kantin.

Dua menit kepergian Anjani, Vanya merasa sepi. Walau banyak murid lainnya di kantin. Tetap saja, mereka sibuk dengan teman mereka. Lantas sekarang, Vanya? Bagaikan pohon besar menunggu anak gembala meniup seruling, membiarkan kambing-kambingnya memakan rumput hijau nan segar. Entah, apa artinya. Intinya begitu.

Detak [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن