PART 20

25 5 4
                                    

Tangisan di kediaman Kalio Erzangga, terdengar saling bersahutan. Sejak jenazah Maurel Revanya dibawa kembali untuk di makamkan.

Tetangga sekitar serta kerabat, berdatangan memberi doa untuk almarhum juga memberi kata-kata penguat bagi mereka yang ditinggalkan terutama Tutik, Galen, dan Anjani.

Anjani memeluk Mardina. Dia tidak menyangka, sahabatnya akan pergi secepat ini. Di dekat pojok ada Zaibel, Robhi, dan Diyon. Mereka merangkul Galen, yang tidak berhenti mengeluarkan air mata.

Dia menyesal mengabaikan, Vanya malam itu. Seharusnya dia menjemput, Vanya. Terlambat! Menyesal pun tidak akan menghidupkan Vanya kembali. Tubuh Vanya terbujur kaku dalam balutan kain putih yang sebentar lagi, menyatuh bersama tanah.

Tutik, tersedu-sedu. Menatap tubuh putrinya begitu pun Ino. Kehilangan sosok kakak. Tiada lagi kakak yang bisa Ino jadikan tempat berkeluh-kesah.

Kalio, laki-laki itu juga menangis, tadi. Sekarang air matanya kering. Biar bagaimanapun Vanya, pernah menjadi alasan mengapa dirinya bertahan, hingga detik ini. Kehadiran Vanya, di dunia ini sebuah anugerah terindah bagi Kalio. Sebab dirinya mampu memberi pengertian tersendiri pada dirinya untuk memahami wanita. Menjadi papa dari Maurel Revanya, tidak membuat Kalio stres, sebab putrinya itu tidak manja, dan tidak banyak tingkah.

Jenazah sudah mau dibawa ke pemakaman umum. Jarak dari rumah ke pemakaman memakan waktu sekitar setengah jam, dihitung dengan macetnya perjalanan. Pihak keluarga beserta kerabat serta masyarakat yang ikut, diharapkan bersiap-siap.

Empat orang mengangkat keranda untuk membawa jenazah, dua diantaranya Zaibel dan Galen.

Amira, Maria, dan Anjai membantu Tutik berdiri. Tubuhnya seolah tidak bertenaga lagi. Dibuat lebih sedih, saaat Tutik sadar hari ini hari ulang tahun putrinya yang ke-24 tahun.

Jenazah dimasukkan ke mobil jenazah. Supir pembawa mobil jenazah langsung menjalankan mobil menuju lokasi pemakaman.

"Yang sabar,ya, Len. Ini sudah takdir. Aku tahu kamu terpukul banget ditinggal, Vanya."

"Aku, menyesal!" ungkap Galen, menyesali semua perkataan dan perlakuannya terhadap, Vanya.

Menyesal berpura-pura menjadikan Maria dan Amira, sebagai calon istrinya. Menyesal, mengabaikan, Vanya. Menyesal membuat perempuan itu sendirian di luar sana, pada waktu itu, Vanya menghubungi Galen, minta di jemput.

Sesampainya di pemakaman, jenazah sudah bisa dikebumikan. Tangisan lagi dan lagi pecah. Tutik menahan tubuh anaknya untuk di masukkan. Kalio, menahan istrinya, ini sudah takdir hidup manusia, Kalio berharap istrinya bisa menerima serta mengikhlaskan putrinya.

Air mata jatuh membasahi tanah pemakaman. Satu persatu pelaksanaan pemakaman selesai dilakukan. Terakhir membaca doa yang dipimpin seorang ustadz.

Taburan bunga, mewarnai tanah itu. Tutik meletakkan keningnya di atas batu nisan tertera nama putrinya.

Semua yang masih berada di sana, dibuat tidak percaya jika di dalam gundukan tanah itu adalah Maurel Revanya. Bagaikan mimpi, tapi nyata.

Amira, mengelus pundak belakang Galen, berkali-kali. Menguatkan sepupunya itu. Amira, baru pertama kali melihat Vany, kejadian di Nugha, membuat Amira bersalah.

Putaran waktu sangat cepat. Hari semakin sore saja. Mereka memutuskan pulang beristirahat, menenangkan diri. Kecuali, Galen. Dirinya masih setia menemani Vanya. Mengadu betapa menyesal dirinya.

Penyesalan memang selalu datang ketika adanya perubahan atau kehilangan. Penyesalan, pun tidak akan mengubah apapun, apabila sudah kehilangan. Terlebih kehilangan berbentuk pertemuan bersama Tuhan.

Galen, masih teringat jelas ...

Malam, pukul delapan ...
Sebelum Maurel Revanya, mengalami kecelakaan ...
Malam itu ...

Galen, mengangkat telepon dari Vanya. Galen tidak tahu pasti, ada keperluan apa sehingga berani menelponnya.

“Ga---Galen, aku boleh minta tolong,” ucap Vanya terdengar pelan.

“Minta tolong, apa? Cepat katakan. Aku tidak ada waktu meladeni, kamu!”

“Aku, sudah jauh dari rumah. Aku berada di Jalan Terkah dua. A-a-apa kamu bisa jemputku? Aku tidak punya uang memesan ojol.”

“Tidak bisa. Aku, lagi makan malam bersama Amira. Kamu, minta bantu saja sama yang lain.”

“Tap---tapi, Len. Aku, maunya sama kamu. Atau kamu izinkan aku bicara dengan Amira, aku akan minta izin dia untuk mengizinkan, kamu jemput, aku.”

“Tidak bisa!”

“Sekali saja. Setelah itu, tidak akan lagi.”

“Jadi orang budeg apa gimana sih? Aku sudah bilang tidak bisa, ya tidak bisa.”

Galen langsung memutuskan teleponnya. Membiarkan, Vanya di sana sendirian. Dia, bertahan dengan kepura-puraan nya, bersama Amira. Kenyataan, dia sendirian memperhatikan sinar bulan dari jendela dapur.

Menyesal!

Detik-detik, akan meninggalkan makam. Galen, menerima satu pesan dari seseorang yang tidak Galen beri nama. Hanya diberi emoji lingkaran mungil menggenakan kacamata hitam, diikuti senyum menawan.

Pesan, tersebut membuat jantung Galen, berdebar-debar. “Kamu, sudah berhasil menyingkirkan anak haram itu. Kamu tenang saja rahasia ini aman. Saya sudah menyuruh anak buah, saya meracuni supir truk itu.”

Galen mengetik, senyum puas. Dalam hatinya seolah ada ratusan kembang api meletus.

“Uangnya, nanti malam saya transfer. Senang bisa bekerja sama dengan, Anda.” Mengirim balasan.

Begitu cepat sampainya, sudah terlihat centang dua biru. “Senang, bisa bekerja untuk, Anda. Saya, tunggu pembayarannya.”

Pesan berakhir ...

Galen, tersenyum puas menatap gundukan tanah itu, hatinya senang! Sangat senang.

“Kamu harus berterima kasih kepadaku, telah mengirim dirimu untuk bertemu, mama. Membayar dosa-dosamu pada, mama. Setelah kamu bertemu, mama. Katakan maaf, padanya.”

“Van, kamu sangat baik. Sayangnya, kamu ngecrushin laki-laki sepertiku. Laki-laki yang mengantarmu bertemu, mama.”





E  N  D

***




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Detak [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang