5. Perjodohan?

29 0 0
                                    

Hari itu, Luan sudah kembali ke Indonesia dengan selamat. Dia beristirahat di rumahnya karena hari itu jadwalnya tidak ke kantor, semua pekerjaan dihandle oleh Asprinya. Jadi, jadwal dia hari ini adalah mengantar sang ayah untuk berkunjung ke rumah teman ayahnya. Dengan perdebatan panjang tentunya dan sangat sengit antara anak dan orangtua itu akhirnya mereka keluar dari rumah dengan Luan melangkah malas ke arah mobilnya. Dia kesal karena selalu kalah dalam perdebatan bersama ayahnya itu dan jadinya ia harus membatalkan niatnya untuk menghabiskan waktu bersantai di rumah saja.

Beberapa menit yang lalu.

"Tidak usah cemberut," ucap Marino sambil memasang wajah datar.
"Kenapa ayah selalu memaksa?" tanya Luan mendelik tidak kalah tajam dari ayahnya.
"Kamu tega membiarkan ayahmu pergi sendirian, ayahmu sudah tua. Apa kamu tidak khawatir kalo ayah celaka dijalan nantinya? Cukup turuti keinginan ayahmu!" Seru Marino. Kemudian dia melanjutkan kembali kalimatnya. "Dulu saat kamu kecil ayah sering mengantarmu dan menjemputmu kemanapun kamu pergi sampai ayah sering menyuruh Pak Alex menggantikan ayah meeting padahal kantor dalam keadaan sibuk saat itu, itu ayah lakukan untukmu karena ayah tidak mau kamu merasa tidak diperhatikan oleh orang tuamu. Jadi, begini kamu membalas pengorbanan ayah!" seru Marino marah.
"Iya-iya makasih ayah atas pengorbananmu kepadaku. Maafkan putramu ini yang tidak tahu terimakasih," Sahut Luan sambil menatap wajah ayahnya dengan kesal.
"Ayo siap-siap!!" Perintah Marino.

Luan pun pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian, dia memilih style yang begitu sederhana yaitu kaos t-shirt, celana jeans dan luarannya jaket, sepatu sneaker serta aksesoris berupa jam tangan merk Rolex Daytona melingkar di pergelangan tangan kanannya itu.

Di bagasi rumah, Luan dan Marino sudah berada disana. Mereka bergegas menaiki mobil mewah milik Luan tersebut.

"Ayah, kita mau kemana?" tanya Luan sambil duduk dikemudi mobil.
"Ke Hongkong!" ujar Marino ketus.
Luan mengeryitkan alisnya itu sebagai tanda bahwa dia sedang bingung. "Mau ngapain?" tanyanya.
"Menjual kamu di sana siapa tahu ada yang mau mengadopsi dirimu sebagai anak!" Kesal Marino sambil menahan ingin memukul anaknya itu.
"Ayah kejam sekali. 10 menit yang lalu ayah baru saja memberitahu tentang pengorbananmu sebagai ayahku tapi kini malah ingin menjual aku? Ayah tidak bersyukur sekali!" seru Luan ngambek.
"Yak, bicara apa dirimu? Jangan menampilkan muka seperti itu! Dasar bayi besar," sahut Marino.
"Tidak, aku tidak bicara apa-apa tadi. Jadi, kita tidak jadi ke rumah om Tristan?" tanya Luan sambil menatap wajah ayahnya itu tanpa berkedip.
"LUAN TANVIR SATYANEGARA!" teriak Marino marah.
"Baik, aku cuma bercanda. Jangan marah ayah, kita ke rumah om Tristan sekarang!" seru Luan sambil tersenyum.

Luan langsung melajukan mobilnya untuk menuju rumah Tristan sebelum ayahnya mengamuk di dalam mobil. Rumah Tristan Brawijaya terletak di Menteng, Jakarta Pusat.

***
Rumah Brawijaya

Pukul 8 pagi, mobil milik Luan sudah berada di pekarangan rumah Tristan. Marino segera turun dari mobil dia juga langsung disambut oleh pemilik rumah tak lain adalah Tristan.
Luan melihat dari jarak 5 inchi dari sang ayah, dia masih bersandar di mobilnya saat ayahnya dengan Tristan melakukan jabat tangan sambil tersenyum. Marino setelah menyelesaikan jabat tangannya lalu menyuruh Luan untuk ikut masuk ke dalam rumah Tristan itu.

"Hei, ayo kemari!" Panggil Marino sambil melambai tangannya ke arah putranya itu.

Luan yang dipanggil pun segera datang, dia sesampainya di hadapan ayahnya itu langsung melakukan jabat tangan kepada Tristan Brawijaya.

"Luan, kamu tumbuh menjadi pria tampan dan sukses. Ayahmu pasti senang memiliki putra sepertimu," ucap Tristan memuji anak dari sahabatnya itu.
"Biasa saja, aku lebih senang melihatnya memiliki keluarga," sahut Marino menimpali ucapan sahabatnya itu.
"Ayah, berhentilah!" seru Luan sambil menatap tajam ke arah ayahnya.
"Apa?" ucap Marino tidak menghiraukan tatapan mata yang diberikan oleh putranya.

63 DaysWhere stories live. Discover now