9. semakin dalam terjatuh

95 7 0
                                    

Arata tidak bisa menenangkan dirinya sendiri, berdamai dengan keadaannya sendiri saja sulit. Setelah mengetahui apa yang dilakukan oleh papanya, bahkan jauh lebih buruk dari perkiraannya sendiri. Arata lah yang menanggung luka itu.

Kakaknya juga tahu, dan ternyata sudah mengetahuinya lebih dulu. Namun, kakaknya tidak melakukan apapun. Dia seperti sudah menyerah untuk memperjuangkan segalanya. Seakan-akan jika keluarganya hancur, maka dia akan ikut membiarkan dirinya dihancurkan.

Saat ini keadaan ikut berubah, Arata tidak memikirkan tentang dirinya sendiri. Dia memikirkan mengenai kakaknya. Bagaimana dia bisa menerimanya dengan mudah, dan tidak berpikiran untuk menjadi kuat demi melindungi dirinya sendiri. Karena bagaimanapun, Arata pastinya akan baik-baik saja.

Keadaan yang telah mengajarkannya untuk menjadi kuat, sekalipun dia seringkali dibuat rapuh. Akan tetapi, Arata berkali-kali mencoba untuk bangkit.

Berbeda dengan kakaknya, yang kini menunjukkan betapa lemahnya dia di depan Arata. Melihat itu, Arata ingin sekali marah. Dia marah karena Arta tidak berpikiran tentang kelanjutan hidupnya, dia seakan-akan menyerah. Tanpa mempercayai bahwasanya hari esok pasti akan menjadi lebih indah.

"Kak mungkin ada baiknya kalau kita ngebuat mama sama papa saling memaafkan. Mereka cuma bilang bisa mempertahankan hubungan satu sama lain karena kita. Tapi sayangnya, kita enggak pernah ngerasa sedang dipertahankan. Yang ada mereka yang mempertahankan egonya masing-masing," tutur Arata sambil terduduk di atas ranjang Arta.

Cowok manis itu tidak langsung memberikan jawaban. Sorot matanya yang sendu menatap ke arah Arata. Dia seperti tidak memiliki jawaban. Karena bagaimanapun, Arta memang sudah pasrah sekali akan apa yang terjadi nantinya.

Namun, Arata yang berusaha untuk tetap kuat. Dia pasti akan melakukan apa saja. Yang terpenting keluarganya bertahan, dan semestanya tidak lagi mempercandakan hidupnya itu. Arata sudah muak, kali ini dia ingin sekali untuk serius.

"Memangnya kalau kita mohon-mohon sama mereka, semuanya bisa berubah? Kakak cuma takut semuanya sia-sia Arata," jawab Arta yang mengusap lembut punggung Arata. Dan meninggalkan anak itu sendirian di kamarnya.

Lagi-lagi Arta mengabaikannya dengan bersikap sekeren itu. Apakah dia benar-benar tidak kenapa-kenapa? Dia terlihat terbiasa akan keadaannya. Sedangkan Arata kesakitan di sini. Tidak, dia tidak menyalahkan Kakaknya. Dia hanya kesal karena tidak mengerti luka kakaknya sendiri.
Selama ini, barangkali Arta kelihatan kuat hanya untuk Arata sendiri. Sehingga di saat dirinya terluka, Arta tidak perlu memikirkannya. Selagi sang adik dalam keadaan baik-baik saja.

Walaupun Arata nantinya akan terjatuh semakin dalam. Dia tetap harus mengusahakan yang terbaik, mungkin tidak apa-apa jika terluka. Karena dia akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Arata berusaha untuk memberanikan diri, yang dilakukannya juga untuk banyak hal.

Arata tidak pernah ragu pada keputusannya sendiri. Karena bagaimanapun dia percaya, bahwasanya dia mampu menaklukkan banyak hal sendirian. Lagian pada kenyataannya, semua manusia dilahirkan untuk berakhir sendirian.

"Kau ngapain di kamar Arta?" Tanya Alin yang sebenarnya terkejut mendapati keberadaan Arata di kamar putra sulungnya itu.

Sambil menggelengkan kepalanya, Arata pun beranjak pergi. Tapi, sebelum itu. Dia membisikkan kalimat penuh penekanan pada mamanya. Sesuai dengan keinginannya, dia pasti akan melakukan semuanya tanpa merasa takut.

"Kalau mama semakin menjatuhkan ku tanpa bisa bangkit. Maka aku pun bakalan ngebuat mama nggak bisa ngerasain kebahagiaan, selain mempertahankan keluarga kita," bisiknya membuat bulu kuduk Alin meremang.

Perkataan yang sungguh berani sekali. Alin tidak menduganya jika Arata lah yang mengatakan itu padanya. Sebuah ancaman yang seakan-akan dilakukannya dengan mudah. Namun, jika Alin sudah memutuskan sesuatu. Maka tidak ada yang bisa mengubahnya.

Semesta Bercanda [✓]Where stories live. Discover now