42. Kapan Punya Anak?

170 4 2
                                    

Aina berdiri siaga. Di sekelilingnya ada tiga orang karyawati, semoga Elang tidak bermaksud jahat. Lelaki berkulit bersih dan berpakaian rapi itu melangkah mendekat.

"Aku mau bicara sama kamu," jawab Elang.

"Bicara apa? Silakan, di sini saja."

"Enggak dong. Kita cari tempat nyaman. Bagaimana kalau ke Bubur Ayam Jakarta sembilan lima?"

Ide yang sangat buruk. Aina menghela napas panjang. Ia ingat percakapan terakhirnya dengan Elang. Tanpa sadar wajah Aina bersemu merah. Apakah Elang datang untuk hal itu?

"Ayo ke kantorku saja," kata Aina sambil berbalik kembali ke ruang kantornya. Karyawati butik Hamidah yang ada di ruang depan itu menatap takjub pada ketampanan wajah Elang. Pria tinggi besar itu melangkah mantap mengikuti Aina.

Mereka duduk berhadapan di meja kerja Aina yang penuh kertas bergambar sketsa baju.

"Ngapain ke sini lagi?" tanya Aina terus terang. Ia tahu Elang bukan jenis orang yang mudah menangkap sindiran.

"Kita masih punya ikatan bisnis. Kita mulai kerjasama lagi, bagaimana?" Elang melirik pada wajah Aina. Menggemaskan sekali untuk seorang psi ko Pat, pikir Aina.

"Kemarin pergi kemana saja, kau?" Aina mengubah topik pembicaraan. Elang tersenyum sinis.

"Aku ngurus bisnisku ke Singapura."

"Jual nar ko ba, ya?"

Elang tertawa mendengar pertanyaan tendensius itu. Aina tidak tertawa. Matanya tajam menatap Elang.

"Bisnisku halal, Na. Jangan nuduh gitu. Kalau mau jadi istriku, nanti aku limpahkan semua hartaku untukmu," kata Elang lagi. Aina tetap berwajah kaku.

"Jangan bikin selera makanku hilang karena humor keringmu itu!"

"Aku serius! Aku kan sudah bilang aku jatuh cinta padamu, Na! Beberapa waktu ini kita bersama, aku terpikat sama kepribadian unikmu. Kau belum kasih jawaban."

"Kepribadian unik? Bilang aja aku galak."

"Ya, aku setuju. Kamu galak. Itulah daya tarikmu. Gimana, kamu terima cintaku?"

"Kalau gak ada hal penting yang mau kamu omongin, sebaiknya kamu pergi aja. Aku banyak kerjaan!" Aina berdiri dan jalan menuju pintu, ia buka pintu itu. Elang memutar posisi duduk menjadi menghadap ke pintu. Ia melihat wajah ayu Aina. Sorot mata Elang tampak aneh, Aina mencatat dalam hati.

"Paling tidak, beri jawaban ya atau tidak pada tawaranku, Na."

"Tawaran apa?"

"Jadi istriku."

Emosi menguasai Aina hingga ke puncak kepala. Andaikan ia berada di rumah, ia pasti sudah meng ha jar Elang hingga hancur berantakan!

"Masih perlu jawaban, ya?" Aina tersenyum. "Jawabannya adalah tidak, pak Elang. Saya bukan perempuan murahan, juga saya ini punya suami. Silakan pergi, jadwal saya padat!"

Perlahan Elang berdiri dan berjalan menghampiri Aina. Ia tidak segera keluar tapi diam dulu di hadapan Aina, menatapnya tajam.

"Aku gak suka ditolak."

"Jangan pernah datang lagi."

"Ingat, aku masih punya kunci rumahmu dan sekarang kunci itu aku bawa."

Setelah mengucapkan itu, Elang keluar dari kantor Aina dan pergi meninggalkan butik Hamidah. Perkataan Elang itu membuat Aina ketakutan. Ya, Aina lupa urusan kunci pintu rumahnya. Selama sembunyi di sana, Elang minta kunci cadangan untuk ia ambil supaya ia bisa keluar masuk rumah tanpa mengganggu Aina. Kunci itu masih ada di tangan Elang!

SUAMIKU MENCINTAIMU (tamat)Where stories live. Discover now