Part 03

188 11 0
                                    

Alih-alih keluar dari mobil setelah mematikan mesinnya, aku justru bergeming di tempat dudukku dan menatap lurus ke depan. Isi kepalaku terus membenarkan ucapan Rieke. Rumah yang aku dan Pasha tinggali berdua memang menyeramkan, terutama di saat malam hari seperti sekarang. Meski menyala cukup terang, lampu teras justru membuat kesan hampa di mataku. Seolah-olah rumah di hadapanku tidak berpenghuni sekalipun mobil milik Pasha terparkir di garasi. Jiwaku merasa kosong ketika menyapukan pandangan ke segenap penjuru. Perasaan apa ini? Sampai kapan aku bertahan dengan kondisi ini demi memprioritaskan kehidupan ribuan karyawan Papa?

Setelah cukup puas merenung, aku bergegas keluar dari mobil. Mungkin aku akan melanjutkan perenunganku saat sudah membaringkan tubuh di atas tempat tidur nanti, pikirku sembari membuka pintu depan.

"Kamu sudah pulang?"

Aku kaget setengah mati begitu suara itu terdengar tepat di saat kaki kananku menginjak lantai ruang tamu.

Tubuhku langsung beku. Tanganku bahkan masih memegang kenop pintu. Dunia seperti berhenti selama sekian detik.

Pasha tampak sedang berdiri kaku di dekat sofa. Laki-laki itu baru saja bangun dari tempat duduknya begitu melihatku membuka pintu. Tatapan matanya nanar. Wajahnya pias.

Andai saja aku dan Pasha saling mencintai dan hidup layaknya pasangan suami istri lain, aku tidak akan pernah merasa sekaget ini melihatnya menyambutku seperti itu. Seorang suami yang menunggu istrinya pulang larut malam dengan wajah cemas sudah menjadi hal lumrah, bukan? Tapi ini berbeda. Aku dan Pasha bukan pasangan normal seperti yang lain.

"Kamu tahu, aku meneleponmu berkali-kali tapi nomormu nggak aktif," ucap laki-laki itu dan langsung membuat kesadaranku mencair.

Aku dan Pasha sudah bertukar nomor, tapi sudah kukatakan sebelumnya, kami nyaris tidak pernah berkomunikasi.

"Benarkah?" Aku merogoh isi tas dengan pikiran buntu. Rasa tak percaya menyergapku.

Ponselku mati dan aku sama sekali tidak menyadarinya.

"Kamu sengaja mematikan ponselmu dan pulang larut malam? Dari mana saja kamu?"

Aku terperangah. Pasha memarahiku?

Dengan mata terbelalak, aku menatap laki-laki itu. Ini momen yang langka dan baru pertama terjadi dalam kehidupan rumah tangga kami.

"Aku nggak tahu ponselku mati." Dengan perasaan tidak bersalah, aku membela harga diriku. Aku memang menggunakan ponselku untuk berfoto-foto selama di butik tadi, tapi aku tidak sengaja mematikannya. Daya ponselku masih tersisa beberapa persen dan seharusnya hal itu tidak terjadi.

"Lalu kenapa kamu pulang larut malam, hah? Ini sudah jam satu malam, Za. Dan aku sudah menunggumu selama empat jam!" ucap Pasha dengan intonasi tinggi.

Aku bingung. Mendadak Pasha marah dan pengakuannya sontak membuatku kaget.

"Kamu menungguku selama empat jam? Untuk apa?"

"Papa masuk rumah sakit."

"Papa sakit?"

"Jantungnya kumat."

"Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"

"Mana aku tahu? Aku juga mau pergi ke sana. Tapi aku nggak bisa pergi ke rumah sakit sendiri. Kita harus pergi berdua," ucap Pasha.

"Kenapa kita harus pergi berdua? Kamu bisa pergi ke sana sendiri, kan?"

"Bagaimana kalau Mama atau yang lain bertanya tentang kita? Apa aku harus bilang pada mereka kalau aku nggak tahu kamu pergi ke mana dan nggak bisa dihubungi, makanya aku datang sendirian. Kamu mau aku melakukan itu?"

Napasku terhenti sesaat.

Aku dan Pasha telah menyetujui beberapa kesepakatan sebelumnya. Satu diantaranya adalah menerima pernikahan kami dengan lapang dada. Dua kesepakatan lainnya adalah kami menjalani hidup masing-masing tanpa mencampuri urusan satu sama lain meskipun aku dan Pasha tinggal serumah. Yang terakhir, aku dan Pasha akan bersikap sewajarnya pasangan suami istri di depan keluarga dan kerabat kami. Jadi, status pernikahan kami hanyalah hitam di atas putih. Aku menjalani hidupku sendiri, begitu juga dengan Pasha. Ia bebas melakukan apa saja, tak terkecuali selingkuh dengan wanita lain. Namun, jika ada sesuatu keperluan yang melibatkan keluarga kami, aku dan Pasha harus bersandiwara di depan mereka dan menampilkan pertunjukan pasangan yang harmonis. Itu semua aku lakukan demi ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan milik Papa. Pasha juga memiliki alasan tersendiri kenapa ia mesti mempertahankan pernikahan kami. Entah alasan apa itu, aku kurang mengetahuinya.

Aku yang tadinya merasa tidak bersalah, seketika berubah dipenuhi perasaaan bersalah.

"Sekarang aku sudah di rumah. Kamu bisa menjenguk Papa kamu," ucapku tak ingin membuang waktu.

"Aku menunggu kamu karena kita harus pergi ke rumah sakit bersama. Kamu masih nggak mengerti juga?"

Melihatnya mengerutkan kening begitu dalam, membuatku meyakini jika amarah Pasha sudah menjalar ke ubun-ubun. Sepertinya aku adalah cobaan terberat untuknya.

Laki-laki itu menyugar rambut dengan melepaskan napas lelah.

"Sudahlah. Sebaiknya kamu pergi istirahat. Aku akan pergi ke rumah sakit sendiri. Aku akan membuat alasan jika mereka bertanya tentangmu," tandas Pasha. Nada suaranya menurun, tak seemosional tadi.

"Tapi ... "

Pasha tak ingin menunggu hingga kalimatku selesai. Laki-laki itu malah mengayunkan kedua kakinya dan berjalan melewati tubuhku. Aku menangkap aroma kekecewaan dari sikap yang ditampilkan Pasha.

"Tunggu!" Aku membalik tubuh setelah tiga detik kemudian. "Aku ikut!"

Aku buru-buru berlari mengejar Pasha yang hampir tiba di garasi.

Pasha telah menungguku selama empat jam. Kalau ia pergi sendiri ke rumah sakit, bukankah penantiannya akan terasa sia-sia belaka? Lagipula ini menyangkut kehidupan seseorang. Papa Pasha.

***

Let Love Come To Us (End)Where stories live. Discover now