Bagian 38

95 14 0
                                    

Seorang gadis termenung seorang diri.

Matanya menatap kosong nun jauh ke sana, ke arah gunung-gunung membiru yang terlihat samar-samar karena jarak yang tak lagi berada dalam gapaian tangan.

Hampir setahun Nuraini berada di kampungnya.

Dia bukan lagi gadis cantik yang suka tertawa dan tersenyum ceria. Dia bukan lagi bunga yang sedang mekar-mekarnya. Dia kini hanyalah kulit kosong tanpa isi, hampa.

Malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya, Raka pergi bersama Wiena. Nuraini tahu kalau ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh kekasihnya. Nuraini tak pernah menduga jika malam itu akan menjadi malam pertama dari ribuan malam penantian panjangnya.

Raka tak pernah kembali.

Pada awalnya, Nuraini masih menaruh asa untuk kepulangan sang kekasih. Dia selalu sabar menunggu di depan pintu, dengan senyuman tersungging karena ingatan kebersamaan mereka berdua yang selama ini tercipta.

Tapi Raka tak pernah kembali.

Asa itu lambat laut terkikis oleh waktu. Sedikit demi sedikit ada sesuatu dalam diri Nuraini yang terasa hilang. Hingga akhirnya, Nuraini tak lagi merasa utuh. Ada bagian dari dirinya yang kini terbang melayang, hilang tertelan angin.

Nuraini tak pernah menyangka jika ada sebuah rasa di dunia ini yang begitu menyakitkan dan pilu seperti yang dia alami waktu itu. Sebuah rasa yang bahkan sempat membuat dia berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Karena dia tak lagi merasa hidup.

Dan ketika Nuraini sudah membulatkan tekadnya untuk mengakhiri kehampaan hidupnya, sebuah kalimat dari bibir Wiena malam itu kembali menyalakan setitik nyala harapan untuk Nuraini.

"Kami tak bisa menemukan tubuhnya. Aku rasa, Raka tak akan semudah itu meninggalkan kita."

Nuraini, demi menyelamatkan nyala harapan yang begitu kecil dan redup itu, memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Karena semua yang ada di Kubangan dan istana kecil mereka di sana, selalu mengembalikan semua kenangan akan Raka. Kenangan yang membuat Nuraini merasakan bahagia sekaligus pedih tak terkira.

"Jika nanti Raka pulang, tolong kasih tahu, aku akan tetap menunggunya, sampai kapan pun."

Itu adalah kalimat perpisahan yang diucapkan oleh Nuraini ke saudara-saudaranya di Kubangan saat berpamitan.

Sejak saat itu, Nuraini berusaha menenangkan diri di kampungnya. Dia menyibukkan diri dengan membantu keluarganya. Ketiadaan lampu gemerlap dan hiruk pikuk dunia malam sedikit membantu Nuraini untuk tetap bertahan. Tapi semua itu tetap tak bisa mengisi rasa hampa yang masih tetap dia miliki. Kekosongan yang hanya akan bisa diisi oleh belahan jiwanya, Raka.

"Nduk, ayo pulang..."

"Nggih, Buk," jawab Nuraini sambil beranjak berdiri.

Tak lama kemudian, dua orang wanita, tua dan muda, berjalan beriringan di pematang sawah. Menuju ke rumah mereka.

=====

Dekstrokardia.

Sebuah istilah yang asing di telinga Raka tapi itulah yang selama ini berkali-kali telah menyelamatkan nyawanya.

Dekstrokardia adalah sebuah kelainan yang langka pada tubuh manusia di mana jantung yang seharusnya berada di rongga dada sebelah kiri justru berada di sebelah kanan.

Sama seperti kejadian terakhir yang menimpanya. Raka berhasil selamat dari kematian karena posisi letak jantungnya berada di sebelah kanan. Tembakan pistol yang mengenai dada kirinya tak mendapatkan sasaran yang diinginkan. Tapi sekalipun Raka berhasil selamat, tetap saja luka dan cidera yang dia alami jauh dari kata ringan.

Setengah tubuh Raka lumpuh menyerupai orang yang terkena serangan stroke. Meskipun tembakan itu tak mengenai jantung tapi berhasil merusak sebagian sistem saraf yang berada di dada sebelah kiri Raka. Membuat tangan dan kaki kirinya tak bisa digerakkan.

Raka butuh waktu hampir setahun untuk memulihkan kondisinya seperti sedia kala. Dan tentu saja, dia tak bisa melakukannya seorang diri. Raka berutang budi kepada Darsono untuk semua itu.

Pisau (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang