The Magician's Wishing Bunny

20 3 3
                                    

.
.
.

"Jangan bercanda!" Amore terpaku menatap bangunan tua di depan. Jelas-jelas apa yang dikatakan saudarinya tak lebih dari bunuh diri semata. "Bagaimana kalau ada hantu!" serunya.

Aura suram sayup-sayup mengembus dari celah-celah dinding bangunan tua berlumut, pagar besi yang terpasang pada tembok berkarat, tak ada penerangan sama sekali, betul-betul sebuah kegelapan yang mampu menelan siapa pun yang sengaja menginjakkan kaki ke sarang tak terurus. Amore menggigil mendapati barisan serangga tanah yang beriringan melewati lubang di tembok pagar menuju ke halaman.

"Ayolah, kau itu berlebihan." Amari mengangkat bahu sambil mengelak tepukan sayang dari sang adik yang lahir lebih lambat sepuluh menit. "Siapa tahu itu benar, kan. Cerita tentang rumah seorang pesulap yang mati dibunuh. Katanya siapa pun yang berhasil menemukan kelincinya dan keluar sebelum matahari terbit, satu permintaan akan terkabul."

"Yang benar itu kau bodoh." Amore menatap kesal kembaran berambut pirang sebahu itu, ia merapatkan diri membiarkan surai sepinggang cokelat terangnya bergelut di dalam hoodie maroon. Tak habis pikir dari mana semua keberanian nekat yang didapat Amari, dilihat lagi pun tak ada yang baik masuk ke properti orang lain meski itu hanya rumah besar kosong belaka. "Memang apa yang mau kau minta? Sudahlah jangan mengada-ada, ayo pulang!" Tanpa menunggu jawaban ia menarik paksa lengan jaket kuning Amari.

"Lepas!" Tepis Amari. "Aku akan minta Ibu pulang. Ini merupakan kesempatan, Amore ...."

Matanya menyipit, samar garis kemarahan tergambar lewat rahang yang mengencang dan bibir terkatup rapat. Kedua anak kembar bak tengah saling bercermin tersebut bergeming, jangkrik mendominasi kesunyian yang tercipta di antara kepala-kepala yang tertunduk bergelut dengan egonya masing-masing.

"Aku ingin Ibu ...." Amari berjongkok meremas kedua tangannya bergantian, ia putus asa.

"Terserah! Aku tahu akhirnya bagaimana. Cerita selamanya hanya cerita dan ibu tak akan pernah kembali ... ia pasti sudah mati tenggelam." Ia berhenti sejenak, lalu menghentakkan kaki seraya berkata, "Lakukan saja!" Amore berbalik memunggungi dan mulai menjauh.

Langit malam tanpa bintang seolah mengisap dirinya, sepasang mata binatang yang terbangun ketika mentari menghilang, mengintip dari balik pepohonan. Berkat kekesalannya, Amore dapat bertahan meninggalkan Amari di perjalanan sepi, kalau tidak mungkin ia sudah menangis di selokan.

Mustahil bagi Amari membiarkan ia pergi sendirian, pasti kakak perempuannya itu akan menyusul dan merasa bersalah. Walau keras kepala seperti batu, tetapi ia tidak pernah segan mengalah. Namun, sejak tadi Amore tak mendengar suara langkah lain selain miliknya, ini sudah cukup jauh dari bangunan mengerikan di belakang sana.

Ia menengok pelan-pelan, gelenyar yang paling Amore benci datang mengelus permukaan kulit tengkuk dan punggung, seolah ada yang sengaja mengusap dengan bulu dingin. "Amari?"

Jantung yang sejak awal berdegup cepat kian dibuat tak karuan setelah menemukan kekosongan. Amore kembali menuju ke arah berlawanan dengan yang ia tuju sebelumnya, keringat sebesar biji jagung meluncur ke leher. Tangan dan kaki seketika mati rasa, pupil matanya mengecil menyadari kesalahan idiot yang ia lakukan. Tanpa Amari adalah yang terburuk, daripada Amore ditinggal di pemakaman seorang diri.

Saat tiba, Amari sudah tidak ada, tinggal jejak sepatunya yang terpampang di jalan setapak menuju pintu masuk rumah tua. Sebelah tangan Amore terangkat buru-buru mengusap setitik air asin dari sudut mata, mempertanyakan isi kepala orang yang dengan bodohnya termakan rumor. Orang waras pasti sadar itu hanya kisah yang dibuat supaya tak ada yang berani mengganggu milik orang lain. Amore sekali lagi memandangi momok menakutkan di hadapan, menguatkan hati untuk sembarangan memasuki pekarangan tak terawat dengan pot pecah berserakan. Kali ini ia menekan gejolak ingin kabur yang timbul di relung paling dasar, demi menyeret Amari pulang.

ISTORIAWhere stories live. Discover now