In the Name of Love

1 1 0
                                    

.
.
.

Setelah bertahun-tahun berupaya sampai salah satu lengan putus---darahnya masih merembes dari kain pembalut luka, meskipun sudah ia obati dengan ramuan penyembuh---Maya berhasil melewati labirin penuh monster dan jebakan, sendirian.

Sebuah pintu besar setinggi tiga meter tampak megah di hadapan, ukiran-ukiran bunga krisan serta bunga matahari memberi kesan cantik sekaligus mengintimidasi. Ia mendorongnya dengan sisa tenaga sembari menahan rasa nyeri, beruntung bahwa tubuhnya adalah tubuh kesatria wanita terlatih di kekaisaran.

Maya mengernyit, ajaib pintu itu tak berat sama sekali saat didorong, ia lantas mulai menyusuri lorong dengan dinding-dinding berhiaskan lukisan-lukisan sendu dengan warna-warna kelabu, yang tergantung kesepian. Benda-benda serupa rambut putih yang rapuh menggantung di sudut-sudut lorong. Ada pula potongan dari boneka yang tercecer di beberapa sudut.

iris birunya teralihkan sepatu kiri seseorang, benda itu tergolek begitu saja tertutupi debu dan waktu. Maya meletakkan sejenak pedang bernoda merah di tangan kanan, mengelus sedikit permukaan sepatu kulit yang sigap menyentak hatinya. Ingat sekali, saat salju turun pertama kali di tahun 444, ia membuatkan sepasang sepatu untuk kasihnya, yang dijahit dengan benang dari bulu kambing gunung emas yang mereka buru.

Netra Maya tak dapat lagi menahan bara api yang bergejolak di dada. Langkahnya terasa ringan sampai-sampai ia bisa saja melayang, kemudian mati dengan jantung meledak. Di sisa-sisa harapan yang hampir pupus, Maya masih saja mengalunkan doa yang sama sejak sepuluh tahun lalu. Merendahkan diri kepada Yang Kuasa semoga cintanya belum hancur termakan masa.

Pintu yang serupa dengan yang sebelumnya, tertangkap mata dan terbuka setengah. Maya menarik napas selagi berjuang mengatur deru batin dan darah yang kian menipis. Persendiannya bergetar nyaris lepas, perlahan-lahan melewati dua patung besar yang masing-masing memegang pedang serta perisai, berjaga di sisi kiri dan kanan pintu.

Maya tak sanggup lagi, suara tangisnya lolos tanpa terhalang mulut yang terkatup pura-pura tegar. Harusnya Maya mati-matian menahannya untuk tak pergi menjelajah kastil tak tersentuh, sebab tak pernah ada yang kembali pulang. Ia enggan menghadapi kenyataan bahwa suami yang telah dicari sekian tahun, pria yang menghilang di kastil besar demi mencari setangkai bunga hitam yang tumbuh di bagian paling dalam---obat untuk putri sekarat mereka---hanya tinggal tulang belulang. Setidaknya ia ingin menyeret lelaki itu pulang menemui anak mereka yang menunggu di rumah.

Cahaya kekuningan menyorot begitu Maya sepenuhnya melewati pintu, pupil mata itu mengecil membiasakan intensitas sinar yang masuk setelah terlalu lama di ruang-ruang minim penerangan. Surai ikal kecokelatan miliknya berpendar keemasan memantulkan kilau cantik. Perlahan dan pasti, warna hijau mengalihkan perhatiannya, lantai ditumbuhi rumput-rumput setinggi mata memenuhi seisi ruang yang begitu luas. Sinar matahari lolos lewat rongga-rongga dari langit-langit kastil yang rusak. Kupu-kupu, bunga beraroma manis, sampai tetesan air dan pohon buah-buahan, membuat tempat itu bak surga dunia lain.

Maya jatuh terduduk begitu melihat singgasana di mana seseorang tengah memejam mata sembari menggenggam setangkai bunga hitam berkelopak kecil, menikmati semilir angin yang terembus membawa kehidupan. Lengannya terulur dibarengi cucuran sungai air mata yang mengalir deras dari kedua mata Maya yang masih tak percaya.

"Duke ...." Maya merangkak dibantu sisa lengan yang tersambung ke tubuh, memangkas jarak menuruti pilu dan rindu yang kini telah runtuh sekaligus. Terasa beban di punggung perempuan itu terhempas melihat iris suaminya yang terbuka lambat.

Warna langit kala sore hari yang dikasihi Maya terbuka sepenuhnya, pria itu sontak berdiri melihat lekat ke arah istrinya yang kini cacat. "May ... Maya!" Ia buru-buru memeluk erat, membenamkan seluruh wajah tak memedulikan aroma amis dari darah yang menempel, ikut melepaskan isi hatinya.

ISTORIAWhere stories live. Discover now