11.

41 28 1
                                    

Kakinya dengan cepat berlari ke arah satu ruangan. Ruangan yang baru sekali ia datangi bersama dengan sang ibu. Hatinya berharap menemukan yang ia cari disana. Namun saat kakinya sampai, kecewa justru yang ia dapatkan.

Ruangan yang dulu ditempati oleh tubuh nyata Janendra kini kosong. Alat-alat yang biasa membantu lelaki itu pun tidak menyala. Kasur yang biasa ditempati sudah rapi kembali.

Kakinya lemas. Ia terduduk di lantai. Kehilangan seorang kakak sudah begitu berat untuknya. Ia tidak ingin kehilangan lagi.

Ya, walaupun ia baru bertemu Janendra dalam kurun waktu yang belum lama. Namun baginya, Janendra merupakan sosok yang mampu membuatnya nyaman. Sosok itu membuatnya kembali mampu bercerita tentang harinya. Sosok tembus pandang itu seolah menjadi cat yang mengubah lukisan hitam putihnya menjadi berwarna.

Tangannya kini mencari ponselnya, berusaha menghubungi sang ibu. Felicia berharap ibunya tahu dimana tubuh lelaki itu berada.

"Maaf, tapi apa kamu temannya Janendra?" Belum sempat jemarinya menekan tombol panggil, seorang wanita dengan rambut diikat ke belakang tengah berjongkok di sebelahnya.

Mendengar nama yang ia cari, kepalanya hanya dapat mengangguk. Wanita itu lalu menuntunnya untuk kembali bangkit dan mengajaknya ke suatu tempat. Mulut gadis itu masih membungkam. Rasanya ia terlalu bingung.

Wanita di hadapannya, mengingatkannya pada sosok yang ia cari. Matanya sangat mirip. Mungkinkah wanita ini adalah ibu dari sosok yang sejak kemarin ia cari keberadaannya?

Langkah kaki mereka berhenti di depan pintu berwarna putih. Terdapat nama Janendra di bawah angka 406 itu.

"Kemarin, Janendra sudah mulai sadar." Netranya masih terfokus pada sang anak yang masih terbaring di kasur rumah sakit. "Kami sempat kehilangan harap. Namun, Tuhan benar-benar memberikan kami kesempatan untuk menjadi orang tua lagi." lanjutnya. Air mata dengan lancar terjun dari matanya.

Melihat wanita yang tadi menuntunnya menangis, tangannya bergerak untuk merangkul. Mereka saling memeluk. Mereka saling berbagi rasa lega atas kembalinya Janendra.

"Tante? Saat kecelakaan tahun lalu, perawat memberikan ini kepada saya. Saya pikir, mungkin ini milik Janendra. Saya ingin mengembalikannya."

***

Felicia menghela nafasnya. Tugas kuliahnya benar-benar sudah menumpuk. Bola mata berwarna coklat itu berulang kali melirik ke arah jam tangannya. Menanti teman kelompoknya untuk bekerja bersama. Hal yang sangat membuatnya kesal. Menunggu. Mereka sudah sepakat untuk bertemu di cafe ini satu jam yang lalu. Namun hingga saat ini, Felicia masih seorang diri duduk membuka laptopnya sembari menyeruput es coklat yang ia pesan sejak tadi.

"Lihat, kan? Inilah alasan aku lebih menyukai tugas indi-" Gadis itu menghentikan ucapannya. Ia masih belum terbiasa dengan kesendiriannya lagi. Janendra yang biasa menemani, membuatnya sering berbicara perasaannya. Seolah ia tahu, sosok itu akan selalu mendengarnya.

Saat minumannya telah habis. Ia memutuskan untuk menutup laptopnya dan beranjak dari sana. Ia menyudahi membuang-buang waktunya. Ia ingin segera ke rumah sakit sebelum jam besuk itu berakhir.

Walaupun ia tidak dapat menghampiri lelaki itu. Rasanya melihat dari jauh pun sudah cukup. Seperti kemarin. Melihat lelaki itu sudah dapat duduk di kursi roda dan menikmati udara segar di taman rumah sakit, mampu membuatnya tersenyum.

Kali ini ia membawa buku yang berisi gambar Janendra. Mungkin suatu saat ia dapat menunjukkannya pada lelaki itu. Atau mungkin hari ini. Felicia sudah meminta izin untuk menyapa Janendra hari ini pada Kiara. Karenanya, hari ini cukup membuatnya bersemangat, walaupun tugasnya masih tertunda.

Senyum yang ia pasang sepanjang perjalanan menuju rumah sakit masih tampak jelas bahkan jika kau melihatnya dari kejauhan. Senyum itu semakin tampak saat netranya menemukan lelaki yang ia cari kini tengah asyik membaca buku, masih di taman yang sama. Ditemani sang ibu yang dengan setia membantunya membalikkan halaman itu.

Jantungnya berdegup dengan cepat. Rasanya ia tidak sabar mencoba menyapa lelaki itu. Langkah kakinya dengan pasti berjalan menuju lelaki itu, sembari mencoba mernormalkan kembali nafas dan jantungnya.

"Halo?" Kaku. Ah, Felicia rasanya lupa bagaimana cara memulai interaksi.

Janendra hanya mampu melemparkan pandangan penuh rasa bingung. Netra lelaki itu lalu mengarah pada sang ibu, berharap ibunya tahu siapa gadis di hadapannya.

"Ini Feli. Dia adiknya Praga." jelas sang Ibu. Familiar.

Janendra mengangguk. Fokusnya lalu kembali pada buku yang ada di pangkuannya. Menyisakan Felicia dengan rasa kecewanya.

Di sinilah ia. Berdiri dengan semua kenangan yang hanya dirinyalah yang mampu mengingatnya.

===

Into : You will continue its Journey!

Halo! gimana harinya? gimana chapternya?
Jangan lupa tinggalin vote + komennya klo suka sama cerita felicia sama janendra yap!
See you besok^^

Into : You [Proses Terbit]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz